THINKWAY.ID – Liverpool berhasil mengalahkan Manchester City dengan skor 1-0 pada Senin dini hari (17/10) waktu Indonesia, dalam lanjutan Liga Inggris pekan ke-11. Bermain di Stadion Anfield, kandang Liverpool, Mo Salah menjadi satu-satunya orang yang menorehkan nama di papan skor pada laga tersebut, yang ia buat pada menit ke-76.
Ini kemenangan yang sangat penting bagi Liverpool, karena The Reds berhasrat mendongkrak posisi mereka di papan klasemen sementaara Liga Inggris. Musim ini start Si Bango tak maksimal. Sampai sebelum melawan Manchester City, Liverpool hanya bertengger di papan tengah, urutan ke-11. M62 Derby, julukan derby Liverpool vs Manchester City, menjadi laga sarat gengsi, karena di musim sebelumnya, kedua klub cenderung saling salip di papan atas klasemen.
Sister City Liverpool dan Surabaya
Liverpool juga terhubung dengan Indonesia. Ini buka soal soal Liverpludian (fans Liverpool) dari Indonesia, tapi soal lain. Kota Liverpool terkoneksi dengan Kota Surabaya sejak 2018. Kedua kota ini menjalin kerjasama dalam beberapa bidang, yang diawali dengan kesepakatan status Sister City antara kedua kota yang punya tradisi sepakbola yang kuat tersebut. Klub kebanggaan warga Surabaya, Persebaya tentu wajib disebutkan.
Konsep sister city atau kota bersaudara adalah gagasan untuk menghubungkan dua kota di lokasi negara yang berbeda dengan tujuan menciptakan koneksi budaya dan kontak sosial antar penduduk. Kota-kota lain yang juga berstatus sister city adalah Ambon – Vlissingen (Belanda) dan Havana (Kuba), Bandung – Cotabato (Filipina) dan Braunschweid (Jerman), Denpasar – Perth & Darwin (Australia), serta Padang – Fremantle (Australia).
Liverpool dan Surabaya juga sama-sama kota maritim yang menggantungkan diri pada keberadaan pelabuhan. Surabaya punya Tanjung perak, Liverpool memiliki Pelabuhan Liverpool (Port of Liverpool), salah satu pelabuhan terbesar di Britania Raya.
Tradisi Tembakau dan Rokok di Surabaya
Surabaya punya tradisi kretek yang kuat. Kalau di Kudus ada Museum Kretek Kudus maka di Surabaya ada House of Sampoerna, semacam museum kretek, namun dalam konsep lebih intim.
House of Sampoerna merupakan bangunan yang dimaksudkan sebagai Museum Kretek Indonesia. Dibangun pada 1862, awalnya bangunan ini digunakan sebagai panti asuhan yang dikelola oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Tahun 1932, bangunan tersebut dijual kepada Liem Seeng Tee, pendiri Sampoerna. Ia menjadikan bangunan itu sebagai tempat pertama produksi rokok Sampoerna. Bangunan kemudian difungsikan sebagai museum pada 2003, karena produksi rokok dipindah ke area yang lebih luas, yang sudah dimulai sejak 1964.
Museum ini tediri dari dua lantai. Lantai bawah difungsikan sebagai ruang pameran, berisi semua hal yang terkait dengan produksi rokok Sampoerna. Mulai dari alat pembuat rokok, pemantik rokok, beberapa jenis cengkeh, display foto, dan sepeda tua (pit kebo: sepeda kerbau), yang kali pertama dipakai oleh Lie Seeng Tee untuk berjualan rokok.
Lantai dua difungsikan sebagai satu pemberhentian untuk mempelajari sejarah industri rokok, serta proses pembuatan rokok dari masa ke masa. Dari lantai atas, tampak berjejer di bawah, puluhan mesin pelinting rokok. Desain bungkus rokok Sampoerna juga dipajang di tempat ini, mulai dari kemasan lawas, sampai yang paling baru.
Petilasan Tembakau Lawas di Liverpool
Liverpool juga punya tempat serupa, walaupun dengan konsep yang agak berbeda. Tradisi tembakau di Inggris agak berbeda dengan di Indonesia. Walaupun pada masa lalu, tembakau sempat jadi komoditas yang bernilai besar, khususnya pada pusat perdagangan dan bongkar muat barang seperti di Pelabuhan Liverpool.
Tahun 1901 Liverpool membangun gudang terbesar yang pernah ada di dunia, benama Tobacco Warehouse. Sangat unik, karena menggunakan material batu bata dengan jumlah sangat banyak. Pada masanya, gudang ini jadi sebuah monumen impian untuk para Liverpudlian, dengan etos kerja keras mereka.
Awalnya, gudang ini digunakan untuk menyimpan pengiriman tembakau saat perdagangan Pelabuhan Liverpool berada pada puncak kemasyhurannya. Potret kejayaan gudang tembakau ini tergambar pada serial TV terpopuler di Inggris, Peaky Blinders, yang menceritakan kisah gangster Birmingham berbasis keluarga, yang cukup sukses menyetir perputaran ekonomi dengan segala konflik dan intrik saat mereka mengelola bisnis keluarga mereka.
Seiring berjalannya waktu, mimpi memudar dan nasib berubah. Tobacco Warehouse tak terpakai, tak terurus, dan rusak. Kini bangunan ikonik tesebut difungsikan sebagai tempat hunian massal semacam rumah susun dengan konsep lawas. Tak cuma sebagai itu, Tobaacco Warehouse juga difungsikan sebagai perkantoran.
Pada Masa lalu, Liverpool juga punya jejak sejarah rokok. Sebuah pabrik tembakau, bernama Ogden’s Tobacco Co, berdiri pada 1860 yang dimulai dari toko kecil di Park Lane, Liverpool. Thomas Ogden, sang pemilik, kemudian membuka cabang di seluruh kota. Dalam enam tahun, ia punya pabrik sendiri di St James’ Street.
Pasang surut produksi rokok membuat Ogden menjual pabriknya pada James B. Duke, pemilik American Tobacco Company pada 1901. Perusahaan ini kembali ke Inggris setelah pembentukan Imperial Tobacco Co, pada 1902.
Pada 1962, produksi rokok berakhir. Perusahaan berkonsentrasi pada tembakau pipa dan linting tangan. Pada akhir 1970-an, fasilitas produksi dimodernisasi. 2006 jadi tahun terakhir pabrik ini memproduksi olahan tembakau di Liverpool.