THINKWAY.ID – Ballon d’Or, gelaran penghargaan sepak bola tahunan dunia baru saja digelar pada Selasa (18/10) dini hari WIB di Theatre du Chatelet, Paris, Perancis. Pemain Terbaik Dunia 2022 atau Trofi Ballon d’Or tahun ini menjadi milik Karim Benzema (Real Madrid/Prancis). Penyerang Real Madrid tersebut menjadi top skor LaLiga dan Liga Champions musim lalu, serta mengantarkan Los Blancos meraih double Liga Spanyol dan Liga Champions.
Ballon d’Or adalah penghargaan yang digagas oleh jurnalis majalah France Football sekaligus mantan pesepakbola profesional, Gabriel Hanot, yang mendorong rekan-rekan seprofesinya untuk memilih pemain terbaik di Eropa pada 1956. Bersama rekannya Jacques Ferran, ia juga berjasa melahirkan kompetisi Ligue 1 Prancis dan ikut mendirikan Piala Eropa, cikal bakal Liga Champions UEFA.
Di luar segala rutinitas penghargaan tahunan tersebut, terdapat cerita dan fakta menarik dari para peraih trofi Ballon d’Or. Berikut 5 pesepakbola yang bisa dikatakan punya cerita menarik dibalik pentasbihan mereka sebagai pesepakbola terbaik di masanya.
Stanley Mathhews
Ia adalah pesepakbola yang kali pertama meraih gelar Ballon d’Or edisi pertama (1956) semasa membela klub Inggris, Blackpool. Hebatnya, ia meraih gelar ini pada usia 41 tahun 10 bulan, dan hingga kini rekor pemain tertua yang meraih gelar Ballon d’Or belum terpecahkan. Matthews mengalahkan nama-nama legendaris seperti Alfredo Di Stefano dan Raymond Kopa. Saat mengawali karier bersama Blackpool, ia pernah mendapat cemoohan dari pelatihnya sendiri yang menganggapnya terlalu tua (32 tahun).
Matthews dikenal karena kemampuan kotrol dan dribel bolanya yang mumpuni, kecerdasan dan visinya dalam bermain, serta jago akurasi umpan. Dengan stamina di atas rata-rata usianya, ia mampu membawa Blackpool tembus final Piala FA edisi 1952/1953 dan menjadi Runner Up Liga Inggris (First Division) musim 1955-1956.
Matthews juga tercatat sebagai pemain tertua yang bermain di kasta teratas Inggris (50 tahun 5 hari). Ia pun tercatat menjadi pesepakbola pertama yang mendapat gelar kehormatan ‘Sir’ dari kerajaan Inggris. Matthews adalah pesepakbola terlama yang membela The Three Lions dari 1934-1957 (23 tahun) dengan total 54 penampilan. Sayangnya, ia tak pernah menjuarai liga atau kasta teratas sepak bola Inggris. Bahkan kini Blackpool, klub yang dulu ia bela, masih berjuang di Divisi Championship, kasta menengah liga sepak bola di Inggris, di bawah Liga Primer dan merupakan divisi tertinggi dalam The Football League.
Lev Yashin
Ia dikenang sebagai salah satu kiper terbaik sepanjang masa. Nyambi sebagai sukarelawan militer Uni Soviet ia lakukan sembari bermain di klub bola Dynamo Moscow. Sepanjang karirnya menjaga gawang, ia menepis 150 tembakan penalti dan mengantongi 275 clean sheet . Julukan “Laba-Laba Hitam” ia sandang selain karena ciri khas Yashin yang gemar mengenakan pakaian hitam, juga karena insting membaca tendangan lawan. Ia sempat membela Uni Soviet dalam empat edisi Piala Dunia secara heroik, tapi gagal menggondol satu pun trofi.
Lev Yashin dianugerahi trofi Ballon d’Or pada 1963. Menjadi prestisius, karena ia jadi satu-satunya penjaga gawang pemenang titel tersebut. Yashin dianggap telah merevolusi peran kiper, selalu siap untuk bertindak sebagai bek tambahan dan memulai serangan balik berbahaya dengan posisi dan lemparan cepatnya. Bahkan banyak yang menyebutnya sebagai kiper merangkap libero. Kini peran itu, yang dikenal dengan sebutan sweeper. Gaya ini diadaptasi oleh para penjaga gawang di era sepak bola modern.
Tim Nasional (Timnas) Indonesia pernah berhadapan dengan kesebelasan Uni Soviet di perempatfinal Olimpiade 1956 di Stadion Olympic Park, Melbourne. Di hadapan 3 ribu penonton, Uni Soviet diunggulkan, salah satunya karena faktor Lev Yashin. Skor kacamata berakhir, sehingga diperlukan laga ulangan, karena di masa itu adu penalti belum diterapkan. Saat partai ulangan inilah, Timnas Garuda dicukur 4-0 oleh Uni Soviet. Walaupun tak mampu menjebol gawang Yashin, FIFA menggambarkan bahwa Andi Ramang, striker Indonesia yang berpostur mungil sempat mengobrak-abrik pertahanan Uni Soviet yang banyak diisi oleh bek-bek dengan postur tubuh besar dan hampir menjebol gawang Lev Yashin.
George Weah
Ia adalah satu-satunya pesepakbola Afrika yang berhasil meraih trofi Ballon d’Or. Tanda-tanda kebintangan Weah muncul saat ia meraih predikat pemain terbaik Afrika 1989 saat membela AS Monaco. Saat hijrah ke AC Milan pada 1995, kemampuan individu dan kolektif Weah semakin berkembang, apalagi duetnya kala itu adalah Roberto Baggio, sang legenda Italia, dan Zvonimir Boban.
Di saat membela Milan inilah Weah meraih gelar Ballon d’Or, tepatnya tahun 1995. Ia jadi pemain Afrika pertama dan juga juga jadi satu-satunya pemain asal benua Afrika yang pernah dinobatkan sebagai Pemain Terbaik Dunia. Setelah gantung sepatu, Weah memutuskan terjun ke dunia politik dengan menjadi anggota parlemen Liberia. Ia didapuk menjadi Presiden Liberia pada tahun 2017 lewat mekanisme pemilihan umum.
Ronaldo Nazário
Sebelum Ronaldo asal Portugal, pernah ada Ronaldo yang jadi bahan perbincangan banyak penggemar sepak bola dunia. Ronaldo Nazario, merupakan pemain termuda sepanjang sejarah yang berhasil meraih Ballon d’Or. Ia berhasil mencapainya dalam usia yang sangat belia untuk ukuran pemain profesional, yakni 21 tahun saat membela Barcelona.
Pemain berpaspor Brasil ini tak hanya punya reputasi tersebut. Ia begitu ikonik dengan Timnas Brasil, karena berhasil membawa tim Samba menjuara Piala Dunia 1994 dan 2002, dengan ciri khas potongan rambut kuncung-nya. Pesepakbola berjuluk El Fenomeno ini punya ciri khas tak telalu ngototo saat mengontrol bola. Penyelesainnya di depan gawang berkarajter elegan, dengan gocekan indah ala-ala goyang Samba.
Fabio Cannavaro
Seperti halnya Lev Yashin, Cannavaro adalah salah satu antitesis dalam semesta penghargaan Ballon d’Or. Dunia mengingat Cannavaro sebagai salah satun pemain belakang alias bek yang meraih trofi bergengsi ini, pada tahun 2006. Piala Dunia 2006 ia persembahnakn untuk Italia.
Satu hal yang identik pada Cannavaro adalah postur mungilnya untuk ukuran bek (175cm). Anggapan ihwal soal postur yang tak ideal ia tepis dengan antisipasi, tekel, dan menginisiasi serangan balik saat dia berhasil merebut bola dari lawan. Sempat berjaya di Parma, tapi era keemasan karir Cannavaro justru terjadi di Juventus, waktunya hampir bersamaan dengan status ban kapten yang ia sangadang saat membela Tim Azzuri di Piala Dunia 2006.