THINKWAY.ID – Sepakbola Indonesia kembali dirundung duka. Tragedi yang sangat menyesakkan, barangkali akan diingat dalam waktu yang sangat lama. 1 Oktober 2022, sebanyak 182 jiwa gugur dalam tragedi pasca-pertadingan Arema FC melawan Persebaya (angka korban dari panditfootball.com, per 2 Oktober 2022). Investigasi masih dilakukan sampai tulisan ini diturunkan.
Terdapat beberapa versi mengenai runtutan kejadian, tapi hampir semua paham bahwa mayoritas, para korban jiwa yang berjatuhan adalah akibat langsung dan tak langsung dari paparan gas air mata. Mengapa ada akibat tak langsung, karena pasca-gas air mata dilepaskan oleh aparat, tejadi kepanikan, saling injak, kekurangan oksigen, dan pingsan massal? Perlu digarisbawahi bahwa ini bukan bentrok antarsuporter.
Zat yang paling umum digunakan sebagai kandungan gas air mata adalah senyawa halogen organik sintetik, yakni ω-chloroacetophenone (CN) dan o-chlorobenzylidenemalononitrile (CS). CN bisa mengiritasi selaput lendir mata. Sedangkan CS memberi efek sensasi terbakar pada saluran pernapasan.
Akun Twitter @Eduardlazarus bercerita, efek nyata gas air mata adalah, dalam setiap tarikan nafas, bagai menghirup bubuk cabe kering langsung dari wadahnya. Dinding paru-paru dan saluran pernafasan terlumuri zat capcaisin. Efek ini cukup membuat pingsan. Lalu, mata seperti dipaksa tertutup, karena kalau dibuka, rasanya seperti meleleh. Efek panik adalah efek psikologis.
Ini sebabnya FIFA, badan sepak bola tertinggi dunia, melarang penggunan gas air mata, sebagai alat kontrol massa. Ini karena, dalam konteks lingkup stadion sepakbola yang umumnya tertutup. Saat panik dalam ruangan tertutup, massa jadi cenderung makin tak terkontrol. (FIFA Stadium Safety and Security Regulations pasal 19 poin B).
Tercatat sekian tragedi serupa tragedi Kanjuruhan. Tragedi Estadio Nacional Peru 1964, korban tewas 328. Tragedi di Stadion Accra Sports Ghana 2001, korban jiwa 126. Keduanya disebabkan oleh gas air mata dan penonton yang berdesakan. Tragedi di Ellis Park, Afrika Selatan, korban meninggal 43. Ini paling mirip dengan tragedi Kanjuruhan, karena ada unsur kapasitas berlebih, gas air mata, dan juga penonton berdesakan.
Belajar dari Tragedi Hillsborough
Kita semua sepakat dilakukan investigasi dan evaluasi menyeluruh dari tragedi Kanjuruhan. Tragedi Hillsborough bisa dijadikan contoh, terutama dalam hal investigasi pasca tragedi.
15 April 1989, Liverpool melawan Nottingham Forest dalam semifinal Piala FA di Hillsborough Stadium, markas Sheffield Wednesday, karena dianggap venue netral. Pertandingan ini tak sampai rampung, karena membeludaknya suporter hingga ke area pertandingan. 96 pendukung Liverpool meninggal, 766 lain mengalami luka-luka.
27 tahun berselang, tepatnya taun 2016, dilakukan penyelidikan ulang. Ditemukan kesalahan prosedur oleh aparat dalam membuka pintu keluar sebelum kick-off yang menyebabkan kecelakaan fatal sehingga korban berjatuhan.
Tragedi Hillsborough menjadi salah satu titik balik dan revolusi sepak bola Inggris era modern. Terdapat beberapa rekomendasi pasca tragedi Hillsborough.
Pertama, penghilangan tribun berdiri, diganti dengan tribun duduk, dengan alasan kejelasan tiket. Dengan demikian, suporter yang masuk lebih termonitor dan lebih aman.
Kedua, peruntuhan pagar-pagar yang membatasi tribun dan lapangan di stadion-stadion di Inggris. Tujuannya, untuk mencegah agar tribun tidak kelebihan kapasitas dan terjebaknya suporter. Rekomendasi ini diikuti dengan ditempatkannya para petugas keamanan non polisi-militer yang ditugaskan untuk memonitor dan mencegah masuknya suporter ke lapangan. Inilah tonggak kemunculan steward sepak bola, biasanya berciri rompi cerah, dan membelakangi lapangan sepakbola.
Hukuman tegas juga diberikan untuk hooligans (fans fanatik sepak bola Inggris), bila terbukti merusuh. Dari statistik, kekerasan fisik antar suporter menurun jauh.
Rekomendasi revolusi tersebut terbukti mampu meningkatkan kualitas Liga Inggris dan Piala FA. Barangkali ada yang bisa diadaptasi oleh PSSI, dengan tetap memperhatikan kearifan lokal dan karakterisktik publik sepak bola Indonesia.
Sanksi dari FIFA barangkali sudah menanti. Kalaupun itu terjadi, pecinta sepak bola Indonesia musti ikhlas untuk sementara waktu, tak bisa merayakan pentas sepakbola lokal dan nasional. Harganya memang semahal itu, tapi kita semua sepakat bahwa: Tak Ada Sepak Bola Seharga Nyawa.