THINKWAY.ID – Kesebelasan Jepang sukses menekuk Tim Panser Jerman dengan skor 1-2 pada matchday pertama Grup E Piala Dunia Qatar 2022. Duel berlangsung di Stadion Internasional Khalifa, Rabu (23/11) malam. Walaupun ball possession terpaut jauh 26%-74%, Jepang mampu memanfaatkan peluang yang semuanya diraih pada babak kedua.
Untuk Jerman, ini adalah untuk kedua kalinya mereka dikalahkan oleh wakil Asia, setelah sebelumnya dikalahkan Korea Selatan dengan skor 2 -0 pada Piala Dunia 2018. Saat itu, Korea Selatan berada di bawah pelatih Shin Tae-yong, pelatih yang kini menangani Tim Nasional Indonesia.
Ternyata, ada hubungan antara kesuksesan tim nasional Jepang dengan persepakbolaan Indonesia, setidaknya jika ditarik jauh ke masa lalu. Jepang yang kini bisa dikategorikan sebagai salah satu kekuatan sepakbola Asia, memulai semuanya dari nol.
Kini Liga Jepang dikenal sebagai salah satu penghasil bakat pesepakbola terbaik di Asia dan dunia. Banyak legenda benua kuning yang juga bintang Liga Eropa lahir dari kompetisi Liga Jepang, Japan-League atau J-League. Kompetisi J-League berhasil merajai sejumlah turnamen penting benua Asia bahkan tampil pada kejuaraan dunia, sejak berdiri pada tahun 1992 silam.
“Berguru” pada Indonesia
Kisah romansa Liga Jepang dan Indonesia dimulai pada 1991. Saat itu, kompetisi sepak bola Jepang masih berbenah, karena liga dalam negeri Jepang masih semi-profesional. Jepang yang waktu itu dalam puncak kejayaan ekonomi, berusaha membangkitkan gairah masyarakat terhadap dunia sepakbola menggunakan kekuatan uang. Meskipun awalnya diragukan karena masyarakat Jepang sangat menggilai olahraga baseball, klub Jepang dengan dukungan dana melimpah berhasil menarik pemain-pemain bintang yang memasuki akhir kariernya untuk berlaga di J-League.
Sebelum tahun 1990-an, sepakbola Jepang kesulitan meraih prestasi. Kompetisi liga Jepang saat itu masih bernama Japan Soccer League (JSL) berjalan biasa saja, tak ada sekat mana klub profesional dan amatir. Kala itu, JSL diikuti oleh beberapa perusahaan-perusahaan lokal. Para pemain JSL berasal dari pegawai-pegawai perusahaan. Kondisi ini hampir serupa dengan kondisi kompetisi era Galatama di Indonesia.
Jauh sebelum bergulirnya Liga Indonesia, kompetisi sepak bola di tanah air terbagi menjadi dua turnamen besar, yakni Galatama dan Liga Perserikatan. Galatama (Liga Sepak Bola Utama) merupakan kompetisi semi-profesional Indonesia yang lahir pada 1979, yang diproyeksikan sebagai cikal bakal kompetisi liga profesional Indonesia di masa depan.
Berbeda dengan Perserikatan, kompetisi Liga Galatama beranggotakan klub-klub baru yang pendanaannya ditopang oleh perusahaan swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta pengusaha swasta yang menggemari sepak bola.
Saat itu, Jepang menganggap pengelolaan klub di Liga Galatama sudah baik. Jepang pun mengirim perwakilan sepakbola Jepang datang langsung ke Indonesia untuk mempelajari sistem serta cara kerja spesifik dari kompetisi ini.
Jepang melihat bahwa model kompetisi Galatama yang mendapat sokongan dana serta bantuan perusahaan besar, merupakan sistem yang ideal untuk sepak bola. Model ini mereka adopsi dan dipertahankan hingga sekarang meski ada beberapa variasi peraturan yang ditambahkan. Salah satu peraturan tambahan yang dibuat J-League adalah pembinaan usia muda, sehingga dana sponsor perusahaan yang masuk harus digunakan klub untuk pengembangan akademi dan tim junior.
Liga Profesional dan Pembinaan Usia Muda
Liga profesional Jepang digulirkan kali pertama pada 1996. Saat itu, Galatama sudah tak lagi bergulir, lantaran kompetisi dilebur menjadi satu dengan Liga Perserikatan, sejak 1994. Nama-nama pesepakbola Indonesia seperti Ricky Yacobi, Alan Irvine, dan Witthaya Laohakul pun didatangkan untuk bermain di JSL dan membantu perkembangan sepakbola Jepang.
Hanya butuh setahun, produk awal J-League yang sempat mencontoh Galatama langsung lahir, misalnya Hidetoshi Nakata, yang bermain untuk Bellmare Hiratsuka dan menjelma sebagai The Asian Player of The Year pada tahun 1997. Nakata hilir-mudik bermain di tim-tim papan atas Serie-A Italia, mulai dari Bologna, Roma, Parma, , dan Fiorentina sebelum pindah ke Bolton Wandereres di Premier League Inggris. Nakat berperan besar membawa tim Jepang lolos ke Piala Dunia 1998.
Kebijakan pembinaan pemain muda oleh tiap klub juga berdampak pada Timnas Jepang. Di Eropa, para pemain Jepang menempa mental yang kelak akan mereka bawa ke dalam negeri, dalam Tim Nasional Jepang. Hasilnya, sejak 1995 Jepang tak pernah absen masuk Piala Dunia Yunior, dan sejak 1998 selalu lolos ke Piala Dunia Senior.
Visi 100 Tahun
Salah satu hal visioner yang diterapkan oleh Japan Footbal Association (JFA) adalah visi 100 tahun, alias 100 Year Plan. Visi ini adalah rencana jangka panjang Jepang, yang ingin memiliki 100 klub sepak bola profesional di tahun 2092. Sekaligus, Jepang menargetkan juara Piala Dunia di tahun 2092.
Saking banyaknya klub yang ingin berkompetisi di J-League, JFA menerapkan kriteria khusus untuk klub yang ingin berkompetisi, dalam berbagai kasta kompetisi dalam negeri Jepang. Sederhananya, kriteria khusus ini berisi, bahwa setiap kesebelasan wajib memiliki rencana 100 tahun.
Memasyaratkan Sepak Bola Lewat Karakter Tsubasa
Naiknya popularitas sepak bola Jepang juga tak lepas dari banyak komponen pendukung, yang tak hanya dilakukan oleh pemerintahnya dan JFA, tapi juga industri kreatif. Serial manga (komik) asli Jepang Captain Tsubasa karya Yoichi Takahashi, sangat populer di dunia, padahal serial originalnya sudah debut sejak 1981.
Ide Takahashi menggarap manga tentang sepak bola terbilang gila, karena pada periode akhir 1970-an, olahraga yang mendominasi di Jepang adalah sumo dan bisbol. Inspirasi Takahashi dalam membuat Captain Tsubasa adalah Piala Dunia 1978 di Argentina. Takahashi mengawang jauh mimpi Jepang berlaga di Piala Dunia.
Takahashi pun mulai menuangkan idenya dengan menciptakan karakter utama bernama Tsubasa Oozora. Untuk lebih mengikat pembaca, Takahashi membuat Tsubasa sangat erat dengan sepak bola, satu di antara jargon yang terkenal: bola adalah teman.
Meskipun hanya cerita fiksi, namun Captain Tsubasa diyakini memberikan pengaruh besar pada perkembangan sepak bola Jepang, dan bahkan populer di belahan dunia lain. Anak-anak di Jepang punya tujuan yang senada yakni berlaga di Piala Dunia. Sejak diadaptasi dalam versi anime, kepopulerannya semakin menanjak, seiring dengan perbaikan kompetisi J-League.
Kepindahan Pratama Arhan asal PSIS Semarang ke klub Tokyo Verdy pada Februari 2022 menjadi sukacita tersendiri bagi penikmat sepakbola di Indonesia. Walaupun Verdy berstatus klub divisi dua alias, J2, mendapat kesempatan untuk bermain di luar negeri dianggap masih lebih baik ketimbang tertahan di liga domestik Indonesia.
Kiranya kisah seperti yang sudah dilakukan Jepang ini sangat bisa diadopsi oleh sistem persepakbolaan Indonesia, tentu disesuaikan dengan kondisi dalam negeri. Pola pembinaan, mendorong klub agar semakin professional, dan rencana jangka panjang adalah poin-poin utama yang bisa dilakukan untuk meningkatkan prestasi Indonesia di kancah persepakbolaan dunia.