THINKWAY.ID – Berkat Wage Rudolf Supratman, kita sebagai rakyat Indonesia memiliki lagu kebangsaan sendiri. Lagu yang gagah dinyanyikan saat merayakan acara nasional dan penyemangat saat atlet olahraga kita bertanding di kancang internasional. Lagu yang menyatukan kita sebagai sebuah satu kebangsaan. Lagu yang membuat tangis rindu kita bergulir ketika jauh berada di negeri orang. Apresiasi setinggi-tingginya kepada sang pencipta lagu tersebut diabadikan dalam perayaan Hari Musik Nasional yang jatuh pada tiap tanggal 9 Maret.
Tanggal tersebut dipilih sebagai Hari Musik Nasional bertepatan dengan hari kelahiran WR Supratman. Kendati demikian perbedaan pendapat terkait kapan kelahiran sang musisi dan juga seorang guru itu sempat menuai perdebatan. Dikutip dari buku ‘Beberapa Catatan Seputar WR Soepratman’ karya Radix Penadi (1988) menyebut bahwa putra daerah Purworejo itu lahir pada 19 Maret 1903. Namun, perdebatan ini menemui titik cerah setelah dikeluarkannya Putusan Pengadilan Negeri Purworejo Nomor 04/Pdt/P/2007/PN PWR pada 29 Maret 2007 yang memutuskan 9 Maret 1903 adalah tanggal kelahiran sang legenda.
Singkat cerita, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 10 Tahun 2013 ditetapkan bahwa 9 Maret menjadi hari perayaan musik nasional.
Kita tidak akan lama-lama berbicara terkait sejarah dan kronik dari seorang WR Supratman. Akan tetapi mari kita menikmati tiap alunan nada dan lirik indah nan puitik yang dibuat oleh banyak musisi top legendaris nusantara. Maka demikian sejatinya memperingati hari musik nasional adalah hari untuk mengucapkan rasa syukur bahwa kita tinggal di Bumi Indonesia dengan segudang karya lagu yang luar biasa.
Hingga hari ini, di generasi terbaru sekalipun karya-karya Ismail Marzuki tetap akan selalu berdendang. Barangkali Ismail Marzuki muda tak akan pernah bisa membayangkan betapa dahsyat lagu Juwita Malam yang abadi nan legendaris serta digubah dengan sedemikian rupa dan masih saja tetap bisa dinikmati. Apresiasi setinggi-tingginya untuk Ismail Marzuki dan musisi segenerasinya di masa itu.
Bicara soal music adalah bicara soal subjektifitas. Saat ini hanya konser musik yang mampu menjebol dinding subjektifitas tersebut. Masing-masing, punya perspektif musik masing-masing, selera masing-masing, experience music masing-masing, dan literasinya masing-masing. Tidak akan pernah bisa dipaksakan. Atas hal tersebut, izinkan tulisan ini mengalir dari sisi sang penulis.
Ingatan tertua kita tentang musik tentu tak jauh dari senandung pegantar tidur yang dibawakan oleh ibu. Ini adalah daftar awal pengetahuan literasi musik kita yang rasa-rasanya dibawakan dalam Bahasa Indonesia atau nyanyian daerah yang berisikan lirik mengandung cerita untuk anak-anak. Sedari kecil kita sudah disenandungkan lagu dengan Bahasa ibu, penanda bahwa sampai tua, nyanyian asal Indonesia tak boleh hilang dari ingatan.
Menginjak sekolah dasar, pengetahuan musik mulai beragam dan biasanya dijejali dengan lagu-lagu patriotik kebangsaan. Hampir kebanyakan, mulai mengalami rasa ingin tahu terkait musik ketika sudah masuk ke fase sekolah menengah pertama. Bisa dibilang disinilah penjelajahan dimulai. Sosial dan lingkungan akan mempengaruhi anda dalam menyusun literasi pengetahuan anda tentang musik. Mulai dari keluarga, tetangga, teman sebaya, kakak yang bandel, radio yang membumbui perasaanmu ketika pertama kali merasakan jatuh cinta, televisi, tukang kaset, dan macam-macam.
Jika anda hidup di kawasan rural, musik dengan aliran irama melayu dangdut sudah barang pasti akan mewarnai harimu. Indonesia memiliki Ellya Khadam, Ida Laila, Rhoma Irama bersama Soneta, dan Nasida Ria. Bagi generasi 90an dan sebelumnya, irama melayu dangdut ini lebih familiar sebelum evolusi purna dangdut yaitu Koplo menyebar. Irama melayu dangdut ini menyebar melalui apa saja mulai dari hajatan nikahan hingga gelaran acara-acara di kawasan pedesaan. Sepertinya di beberapa daerah kota juga demikian.
Anak-anak muda di perkotaan nampaknya dibantu oleh radio dan toko-toko musik yang berhamburan. Ada televisi juga yang membantu menambah literasi serta jatidiri musik mereka. Macam-macam yang disukai tapi nampaknya Pop Kota seperti Chrisye, Chandra Darusman, Utha Likumahuwa, Sheila Madjid, jadi idaman di beberapa generasi sebelumnya. Tren terus berputar dan lagu-lagu karya nama-nama musisi tersebut kembali jadi primadona di saat ini.
Ada frekuensi aneh, unik, dan berbeda yang sempat hadir di fase singkat ketika 2000an. Inilah nampaknya jadi titik tonggak mula public mulai mengenal musik independent (Indie). Beberapa pengamat melihat bahwa giggs yang bertebaran, radio dan televisi seperti MTV yang menawarkan alternatif lain memberi warna baru pada anak muda generasi 2000an untuk mengenal Pure Saturday, Pestol Aer, The Upstairs, dan kawan-kawan. Memang tren kembali berputar dan berpihak pada alternatif ini namun pada masanya, durasi mereka sempat populer walau dalam waktu yang singkat.
Dahsyat dan Inbox sebagi acara musik yang ditayangkan televisi swasta selalu dilihat secara hitam dan putih. Jika anda suka berarti anda menikmatinya, jika tak suka besar kemungkinan anda membencinya. Tapi suka atau tidak suka dua acara ini melanjutkan tongkat estafet blantika permusikan di Indonesia. Berawal dari Kangen Band, muncul kemudian banyak musik-musik dengan nada melayu. Panjang umur popularitasnya dan akhirnya menemukan titik redup.
Tapi fase ini tidak boleh dihilangkan dari linimasa sejarah. Suka tidak suka, generasi Dahsyat dan Inbox tumbuh diiringi oleh nada-nada melayu ala-ala Vagetoz. Derai nostalgia pun terjadi dua tahun belakangan ini, ketika industri musik dianggap menjemukan, band-band beraliran melayu jadi pilihan untuk dinyanyikan di acara-acara karaoke bersama. Era dan fase yang menarik.
Ketika industri musik di Indonesia dianggap lesu, Sebaliknya Rich Bryan dan Weird Genius membawa Indonesia ke kancah permusikan Internasional. Di kota-kota besar di belahan dunia barat, anak mudanya mengenal Rich Brian dan lagu-lagu beraliran rapnya. Sementara Weird Genius menelurkan masterpiece bernama Lathi yang menggempar dunia bak serangan Rusia ke Ukraina.
Jika tulisan ini adalah sebuah etalase, rasanya tak lengkap jika tak menyebut nama Didi Kempot. Karyanya abadi, tapi sumbangsih besarnya adalah mampu memberikan spirit dan semangat bagi musisi local untuk menelurkan karya dengan Bahasa daerahnya masing-masing. Lagu-lagu berlirik Bahasa Jawa, berlirik dialek papua, berlirik Bahasa Padang, berlirik Bahasa Sunda, kini digemari siapa saja.
Indonesia adalah bangsa yang besar. Kebesarannya bisa dilihat dari betapa dahsyatnya musisi-musisi dalam negeri dalam menghasilkan banyak karya. Saking besarnya, hanya satu lagu yang bisa mempresentasikan Indonesia. Lagu itu adalah Indonesia Raya, diciptakan oleh seseorang yang hari lahirnya diperingati sebagai Hari Musik Nasional. Terima kasih WR Supratman!