THINKWAY.ID – Se-punk apa pun, se-metal apa pun, se-harajuku apa pun, se-rebel apa pun, se-underground apa pun, se-rock apa pun kita adalah generasi yang melewati masa di mana musik melayu menjadi opsi utama untuk ditayangkan di televisi, di toko-toko kaset, di pusat perbelanjaan, di angkot dan metromini, dan di radio-radio yang menemani perjalanan. Tak bisa dipungkiri, kita adalah generasi yang melewati fase itu.
Generasi kita lalu kemudian tumbuh dan perlahan-lahan memasuki masa tua. Entah itu baru mulai menginjak umur kepala tiga atau sedang memasuki umur kepala empat. Anehnya, apa-apa yang kita lewatkan di masa lalu kini hadir kembali namun dengan suasana yang berbeda. Apa yang kembali? Musik melayu yang pernah kita lewatkan. Tidak ada kebencian, tidak ada rasa malu, kita menerima musik melayu dengan tanpa resisten dan penolakan macam apapun.
Jika diamati dengan sederhana, ada beberapa fase musik melayu kembali menjadi primadona atau bahkan diterima oleh individu-individu yang menolak untuk mendengarnya di masa lampau. Ada yang menyebut bahwa fase pertama dimulai sejak seniman sekaligus musisi bernama panggung Oomleo menyajikan proyek berkaraoke di acara-acara publik. Tentu, lagu-lagu yang disajikan adalah lagu yang dianggap “cengeng” oleh beberapa individu pada masa itu.
Titik puncak fase ini adalah saat seniman bernama asli Narpati Awangga tersebut membawakan proyek bernama Oomleo Berkaraoke di gelaran musik Synchronize 2019 di Jakarta. Sekadar informasi performer yang mengisi di hajatan musik tiap tahunan tersebut rata-rata adalah musisi Indie begitu juga dengan yang datang kesana. Lantas apa yang terjadi saat Oomleo Berkaraoke mentas di atas panggung? Voila! Semuanya serentak bernyanyi, tidak ada kebencian, tidak ada botol beterbangan tergantikan oleh botol yang saling menuang di antara gelas-gelas kosong.
Proyek Oomleo ini bisa dikatakan berhasil dan tren ini kemudian dibawa ke café-café, bar dan diskotik, panggung ke panggung, makrab ke makrab, bahkan kantor ke kantor. Jika Oomleo adalah penendang tendangan kickoff dalam sepak bola maka Tiktok adalah pencetak gol yang melanggengkan kemenangan. Seorang teman yang sangat mengandrungi tiktok pernah berujar bahwa dalam membuat konten platform asal Tiongkok tersebut yang utama adalah musik, setelah itu videonya, dan terakhir bobot konten. Selama menggunakan lagu yang tepat dan sedang hype maka dipastikan konten video tersebut bisa ditonton khalayak banyak.
Anda sudah barang tentu tau bahwa lagu-lagu yang populer di tiktok justru sebenarnya adalah lagu-lagu lama. Ini yang kemudian menjadi titik selanjutnya lagu-lagu melayu menjadi naik daun dan bahkan diterima tanpa resistensi oleh generasi di masa kini. Oke, konon stagnasi industri musik tengah terjadi, ada kekosongan yang kemudian mampu diiisi oleh lagu-lagu melayu yang dengan cepat diterima oleh anak berumur belasan tahun di era saat ini. Melihat mereka mendengar lagu melayu seolah-olah membawa kita kembali ke masa saat masih nongkrong di depan portal.
JKT48 punya satu diksi “Derai Nostalgia” yang pas untuk menggambarkan fenomena tersebut. Derai nostalgia juga jadi alasan mengapa kita yang dulunya resis dan bahkan menolak untuk mendengarkan musik melayu, justru saat ini malah dengan mudahnya untuk menerima. Musik-musik melayu ibarat menjadi kapsul waktu untuk membawa kita ke masa lalu. Sesuatu yang mustahil untuk dilakukan namun musik-musik melayu mampu menstimulus itu. Satu lagu vagetoz yang kita dengar akan mengingatkan kita misalnya terhadap gadis sma cantik di Blok-M yang pernah diajak kenalan. Lagu-lagu Hijau Daun misalnya pernah membawa kita mengingat ITC Fatmawati tempat di mana orang tua membelikan handphone pertama kita. Atau lagu kangen band yang membuat kita mengingat saat hanya berani bertemu dengan kekasih di depan gang. Meski kita pernah menghina musik melayu, tapi karena diputar dimana-mana sehingga kita tak bisa mengelak, sadar atau tidak mereka sudah menjadi satu simpul memori yang terekam tak pernah mati.
Sejatinya, bukan hal yang sangat fundamental, mengapa kita sempat menolak untuk mendengarkan musik-musik melayu. Ini soal darah muda dengan semangat yang mendidih dan jiwa pemberontakan yang meronta-meronta. Pada fase itu dan di jaman itu, tentu ada beberapa anak muda yang butuh mencocokkan diri, suasana, musik dengan padanan yang pas. Alasan alamiah juga akhirnya mereka lebih memilih gaya berpakaian, cara bersikap, dan musik yang pas untuk darah dan semangat yang berapi-api tersebut. Tidak ada maksud lebih, nothing personally, untuk jadi alasan mengapa tidak menyukai musik-musik melayu.
Tapi pada akhirnya, kita menua, mendengar dengan nikmat alunan musik melayu, mengembankan senyuman, dan mengingat kembali lelaki atau perempuan yang pernah kita taksir di masa remaja. Apa kabarnya?