Kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23 persen mulai Januari 2020 membuat para pelaku di industri ini resah. Padahal selama kurun waktu tiga tahun terakhir, industri rokok mengalami penurunan 1-2 persen per tahun.
Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya Sulami Bahar mengungkapkan penolakan atas kebijakan pemerintah yang pada Jumat (13/9) lalu disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani.
“Beberapa tahun terakhir, industri sedang mengalami penurunan. Padahal sudah mulai bangkit, namun adanya kebijakan seperti ini makin membuat kami merasa jika pemerintah sama sekali tidak berpihak pada industri hasil tembakau (IHT),” ungkapnya.
Lebih lanjut Sulami mengatakan, sejak Juli 2019 diundang untuk pembahasan, pihaknya telah menolak rencana kenaikan tarif cukai rokok.
“Kami minta pemerintah tidak menerapkan simplifikasi yang menggabungkan volume produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM). Apalagi dari kedua produksi tersebut sempat mengalami penurunan market share,” jelas Sulami.
Rinciannya pada SKM turun sebesar 8,4 persen dan SPM 8,3 persen. Bahkan besaran penurunan market share sebanyak 13,1 persen dialami oleh sigaret kretek tangan (SKT).
Pasalnya, dengan adanya simplifikasi bakal memberi dampak salah satunya adalah kembali maraknya rokok ilegal. Pemerintah sendiri sebelumnya sangat gencar memberantas rokok ilegal. Terbukti pada semester II 2019, peredaran rokok ilegal hanya mencapai angka 3,03 persen dibanding tahun-tahun sebelumnya yang mencapai angka 12,04 persen.
“Kebijakan ini sama saja seperti kesia-siaan. Di satu sisi sedang memberantas rokok illegal, namun satu sisi juga membuka akses untuk rokok-rokok ilegal ini untuk masuk. Padahal hadirnya rokok ilegal akan merugikan penerimaan negara,” ucap Sulami.
Oleh karena itu, sebagai pemain dalam industri tembakau, Gapero sangat menyayangkan kebijakan yang juga berakibat kenaikan pada harga jual eceran (HJE) rokok sebesar 35 persen.
Menurut Sulami, agar kebijakan cukai tidak terlalu berimbas negatif terhadap bisnis IHT, pihaknya terus melakukan audiensi kepada pemerintah, khususnya Gubernur Jawa Timur (Jatim).
“Kami tidak akan lelah berjuang agar kebijakan ini tidak terlalu berdampak serius pada pengusaha. Karena kami paham jika industri rokok di Jatim memiliki kontribusi 65 persen atau senilai Rp 90,74 triliun dari nasional. Sangat disayangkan apabila industri ini menjadi lesu akibat kebijakan kenaikan tarif cukai rokok,” tandasnya.
Selain itu, strategi memberikan preferensi tambahan untuk segmen SKT seperti perluasan batas jumlah produksi, khususnya golongan II dan II, preferensi tarif cukai dan HJE golongan I, II, dan II juga diberlakukan untuk memperlambat tren penurunan yang terus dialami IHT.***
Sumber: Radar Surabaya