Sebanyak 95 jenis anggrek endemik gunung Merapi ‘terpaksa’ dilepasliarkan kembali, menyusul minimnya respon masyrakat untuk mengadopsinya sebagai anak asuh.
SETANGKAI mengangguk-angguk diterpa angin semilir yang berhempus di Blok Turgo, Resort Pakem, Taman Nasional Gunung Merapi. Bunganya yang kecil memamerkan warna kombinasi antara kuning pucat dan putih gading, dengan sedikit warna cokelat pada bagian dalamnya. Batang dan daunnya yang berwarna hijau gelap memiliki sisik yang berfungsi menangkap air.
Flora endemik yang konon hanya ditemukan di pulau Jawa dan Kepulauan Sunda ini hanya terdapat di dataran tinggi di ketinggia sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut. Ia tumbuh secara terestrial dengan batang tegak, jauh dari atas tanah.
Jenis tanaman khas yang pertama kali ditemukan di Gunung Ungaran, Jawa Tengah, pada 1921, itu menjadi salah satu anggrek yang akan dilepasliarkan di habitat alaminya, Taman Nasional Gunung Merapi. Sebelumnya, ia bersama berbagai jenis anggrek endemik tersebut dibudidayakan dalam program yang digagas oleh Balai Taman Nasional, Yayasan Kanopi Indonesia dan Kelompok Tani Ngudi Makmur ini membangun tempat konservasi anggrek di Dusun Turgo.
Program untuk mengkampanyekan penyelamatan anggrek di Merapi ini dengan cara penggalangan dana dari masyrakat untuk membiayai pembudidayaan masing-masing anggrek. Tujuannya, agar keanekaragaman hayati di kawasan Taman Nasional bisa terjaga. “Kelestarian berbagai jenis anggrek tersebut terancam sejumlah hal, terutama erupsi Merapi,” kata Kepala Balai Taman Nasional Gunugn Merapi, Edy Sutiyarto.
Balai Taman Nasional Gunung Merapi sendiri mencatat anggrek yang dikoleksi Taman nasional sebanyak 95 jenis. Salah satunya adalah si cantik nan langka, Rhomboda velutina. Belakangan, masyarakat yang tinggal di sekitar lereng Merapi menemukan dua jenis baru yang ditemukan di tebing sungai Krasak.
Minimnya “orang tua asuh” yang bersedia mengadopsi anggrek khas lereng Gunung Merapi menjadi penyebab utama mandegnya program tersebut. Alhasil, rencana pelepasliaran yang sedianya baru dilakukan tahun depan dipercepat pada tahun ini. “Sampai saat ini ‘orang tua asuh’ yang bersedia mengadopsi anggrek Merapi belum bertambah, sejak Juli 2015 masih tetap 22 saja. Akhirnya beberapa anggrek yang sudah siap, kami lepasliarkan di hutan Merapi,” kata pembudidaya anggrek Merapi di Dusun Turgo, Pakem, Sleman Musimin.
Tanaman-tanaman anggrek yang telah diadopsi oleh masyarakat umum itupun saat ini masih dirawatnya untuk kemudian dilepasliarkan oleh “orang tua asuhnya”. “ Padahal, butuh waktu sekitar dua tahun agar anggrek-anggrek bisa bertahan hidup setelah dilepasliarkan,” katanya.
Taman Nasional yang terletak di pulau Jawa bagian tengah ini memiliki ekosistem dari kombinasi biosystem, geosystem dan sociosystem yang unik, menarik dan dinamis. Hutan tropis pegunungan yang ada di kawasan tersebut sangat terpengaruh aktivitas gunung berapi, sehingga memunculkan berbagai flora endemik seperti Castanopsis argentia, Vanda tricolor, selain rumah yang baik bagi 95 jenis anggrek.
Taman Nasional Gunung merapi juga memiliki berbagai koleksi vegetasi yang khas. Hasil survey potensi tumbuhan di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi ditemukan kurang-lebih 154 jenis tumbuhan, yang dicatat paska erupsi 2010. Jenis tumbuhan paling dominan untuk tingkat pohon di kawasan ini adalah Pinus Merkusii dan Accacia decurens. Sedangkan di bagian selatan masih didominasi oleh hutan alam campuran, seperti Puspa.
“Pasca erupsi, Accacia decurens tumbuh dengan sangat pesat dan dikuatirkan akan mengganggu perkembangan vegetasi lain karena sifatnya yang invasive,” kata Edy.
Kawasan ini merupakan habitat yang baik bagi perkembangbiakan elang jawa dan macan tutul. Selain itu, ia menyimpan sedikitnya 152 jenis burung edemik, seperti alap-alap macan, ayam hutan hijau, betet cokelat dan berbagai jenis lainnya. Sebanyak 32 jenis burung migran lainnya juga sering menyambangi kawasan ini, seperti burung madu jawa, opion jawa, serindit dan poksai.
Taman Nasional yang terletak di Jawa bagian tengah ini awalnya dibentuk untuk malindungi berbagai sumber-sumber air, sungai dan penyangga sistem kehidupan kabupaten/kota-kota Sleman, Yogyakarta, Klaten, Boyolali, dan Magelang.***
Sumber: Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa