THINKWAY.ID – Revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 kembali mengemuka. PP ini mengatur soal Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Untuk diketahui, revisi peraturan pemerintah ini merupakan suatu kebutuhan regulasi yang diamanahkan dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024.
Revisi PP ini bermuatan pokok meliputi beberapa hal, seperti ukuran pesan bergambar diperbesar; rokok elektrik diatur; iklan, promosi, dan sponsorship yang berkaitan dengan produk rokok diperketat; penjualan rokok batangan dilarang; serta peningkatan fungsi pengawasan pengendalian konsumsi tembakau.
Secara teknis, revisi PP 109/2012 di antaranya berisi 90 persen larangan promosi, pembatasan produksi, pengaturan aktivitas tata niaga, dan aktivitas konsumen.
Namun demikian, revisi kali ini fokus pada target turunnya perokok usia 10-18 tahun dari 9,1% menjadi 8,7% di tahun 2024. Sehingga bisa dikatakan, revisi ini fokus untuk mengendalikan perokok pemula dalam upaya perlindungan anak.
Pemerintah mengklaim sudah melakukan uji publik untuk revisi. Akan tetapi prakteknya, banyak masukan dari publik yang belum terakomodir, khususnya soal iklan rokok yang menurut pembuat kebijakan, punya andil membuat banyak anak tertarik untuk merokok.
Namun apakah benar demikian?
Iklan rokok telah diatur oleh pemerintah dalam PP 109/2012 dan untuk ekosistem pertembakauan, hal ini sudah dimaklumi dengan mematuhi aturan tersebut. Kalangan ekosistem pertembakauan menganggap ini adalah jalan tengah yang masuk akal dan tepat sasaran.
Namun dengan adanya revisi, terutama yang terkait dengan pengetatan aturan, beberapa aspek dikhawatirkan justru akan mematikan perlahan perputaran tembakau dan produk turunannya.
Iklan Rokok di Media Penyiaran
Apakah iklan rokok yang selama ini sudah dipatuhi oleh produsen membuat perokok anak menjadi bertambah? Faktanya, dalam konteks pemasangan iklan rokok di media penyiaran seperti televisi dan internet, menunjukkan hal yang sebenarnya cenderung susah diakses oleh anak-anak. Kalaupun terlihat, tak serta merta mereka tertarik untuk merokok.
PP ini telah mengatur iklan di media penyiaran yang hanya dapat ditayangkan setelah pukul 21.30 – 05.00. Anak-anak umumnya sudah beristirahat pada jam-jam tersebut. Ini pun sudah dibarengi dengan dipatuhinya larangan menyiarkan dan menggambarkan rokok dalam bentuk gambar atau foto, menampakkan orang sedang merokok, memperlihatkan batang rokok, asap rokok, bungkus rokok atau yang berhubungan dengan produk tembakau. Aturan teknis ini telah meminimalisir potensi anak agar tak tertarik dengan ikla rokok.
Ini seharusnya bisa dipahami oleh banyak pihak. Kontradiksinya, pada 2019 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pernah meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk memblokir iklan rokok di internet, dengan alasan menurunkan prevalensi merokok khususnya pada anak-anak dan remaja.
Belum lagi, pemerintah justru memberikan kelonggaran dengan dibolehkannya pemerintah daerah mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengendalian iklan atau sponsor produk tembakau. Ini berpotensi tumpang tindih kebijakan. Rujukan aturan seharusnya tetap di pusat.
Ekosistem pertembakauan sudah patuh dengan aturan yang diberlakukan. Bahkan, misalnya ketika aturan dirubah dari dilarangnya menjual/memberi pada anak di bawah usia 18 tahun, menjadi hanya untuk usia 21+, itupun masih bisa ditolelir. Poinnya adalah pada mekanisme pengawasan.
Aturan yang baik hanya dapat berjalan dengan pengawasan yang baik. Iklan rokok yang dianggap sebagai penyebab anak-anak tertarik untuk merokok, hanya dapat dimaklumi karena pengawasan yang tidak ketat dan tidak patuhnya peniaga pada aturan tersebut.
Dalam konteks peniaga rokok dan tembakau, mungkin hal ini sudah dilakukan oleh minimarket atau swalayan. Tapi untuk peniaga rokok misalnya warung kelontong yang menjual produk yang dimaksud, barangkali perlu dilakukan pengawasan tertentu, dengan hal paling masuk akal, memberlakukan sanksi sesuai ketentuan yang tercantum dalam PP 109/2012.
Masih banyak masyarakat yang belum paham soal PP 109/2012. Sosialiasi sampai akar rumput juga perlu dilakukan oleh pembuat kebijakan, dan memastikan masyarakat khususnya yang hidup dari tembakau dan rokok, paham soal regulasi ini. Sehingga ketika timbul protes pada aturan, bisa kembali merujuk pada aturan yang sudah disepakati. Tapi sebelumnya, perlu juga dilakukan uji publik yang mengakomodir komponen-komponen yang berkepentingan.
Belum lagi, dikhawatirkan, revisi PP 109/2012 bukan hanya akan menghanguskan ekosistem pertembakauan khususnya pertanian tembakau, tetapi juga sektor religi dan budaya. Faktor kearifan lokal juga musti dipertimbangkan karena tembakau mengandung pengharapan akan masa depan.