THINKWAY.ID – Kementerian Pertanian (Kementan) tengah mengamati beberapa ketentuan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pelaksanaan UU Kesehatan 2023 yang berkaitan dengan Pengamanan Zat Adiktif, terutama dua pasal yang dikhawatirkan akan membawa dampak negatif bagi petani tembakau.
Pernyataan ini disampaikan oleh Yaqub Ginting, Ketua Tim Kerja Tanaman Semusim dan yang Lainnya dari Kementan, dalam halaqah nasional yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) di Jakarta Pusat pada Kamis (12/10/2023).
Menurut Yaqub, Kementan khususnya menyoroti Pasal 457 ayat 7 dan Pasal 439 ayat 1. Terkait dengan Pasal 457 ayat 7, Kementan telah mengusulkan agar pasal ini dihapuskan.
Kementan berpendapat bahwa Pasal 457 ayat 7 berpotensi bertentangan dengan UU Budi Daya Nomor 22 Tahun 2019, yang menegaskan hak masyarakat untuk memilih jenis tanaman yang akan ditanam. Oleh karena itu, Kementan mengusulkan agar pasal ini diperiksa kembali dan bahkan dihapus jika memungkinkan.
Sementara itu, Pasal 439 ayat 1 dalam RPP yang mengandung pengamanan zat adiktif tersebut mengatur pengemasan rokok dalam bungkus yang lebih besar. Yaqub mengemukakan bahwa hal ini bisa mengurangi tingkat penyerapan tembakau oleh masyarakat, yang tentu saja akan merugikan petani tembakau.
“Kami selalu menjunjung tinggi kepentingan petani dalam proses perumusan RPP ini,” tambahnya.
Kemenkes Menekankan Bahwa PP Pengamanan Zat Adiktif Bertujuan untuk Melindungi Anak-Anak
Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Benget Saragih, menjelaskan bahwa peraturan ini tidak dimaksudkan untuk menutup pabrik rokok atau melarang merokok, melainkan untuk mengatur perilaku merokok agar tidak mengganggu masyarakat.
Kemenkes menjelaskan bahwa aturan ini dimaksudkan untuk mengawasi penyebaran rokok di masyarakat. Benget Saragih menegaskan, “Kemenkes tidak memiliki niatan untuk menutup pabrik rokok atau melarang individu merokok. Kami ingin mengatur kebiasaan merokok, seperti tidak merokok di area terlarang dan dalam ruangan, untuk memberikan contoh baik bagi anak-anak.”
Dia juga menyatakan bahwa Kemenkes selalu menempatkan perlindungan anak-anak sebagai prioritas utama dalam pembuatan peraturan ini.
Benget mengacu pada data BPS tahun 2021 yang menunjukkan bahwa pembelian rokok menduduki peringkat kedua dalam anggaran masyarakat. Hal ini dapat berdampak pada kemampuan masyarakat untuk membeli makanan dan berkontribusi pada risiko stunting.
“Kami percaya bahwa pengawasan lebih ketat diperlukan untuk mencegah dampak negatif ini, dan inilah sebabnya kami mengatur penjualan rokok secara eceran dan memasang harga yang lebih tinggi. Hal ini bertujuan untuk mencegah masyarakat Indonesia membeli rokok, sehingga mereka dapat memprioritaskan membeli makanan seperti susu dan telur, yang berperan penting dalam pencegahan stunting,” ungkapnya.
Benget menambahkan bahwa pembuatan aturan ini melibatkan berbagai pihak dan telah dilakukan sejumlah studi oleh Kemenkes untuk memastikan dampaknya terhadap berbagai aspek, termasuk ekonomi, dan mencegah kerugian bagi petani dan industri tembakau.