Industri pariwisata menjadi salah satu sektor yang dikembangkan tahun ini mengingat kontribusinya pada devisa tergolong besar. Untuk mendorong sektor ini, Kementerian Pariwisata pun melakukan program percepatan pengembangan pondok wisata atau homestay desa wisata.
Meski begitu, kebijakan perpajakan yang diterapkan bagi pelaku usaha homestay desa wisata dianggap belum mendukung program yang dirancang pemerintah. Pasalnya, bagi pelaku usaha pondok wisata ini dikenakan pajak berganda, mulai dari pajak yang dipungut oleh pemerintah hingga beberapa jenis pajak yang dipungut oleh daerah.
Kasubdit Peraturan PPh Badan Wahyu Santosa menerangkan, pajak yang dikenakan kepada pelaku usaha adalah pajak penghasilan (PPh).
“Kalau omzetnya lebih dari Rp 4,8 miliar per tahun maka dikenakan tarif PPh normal, tetapi kalau omzet di bawah Rp 4,8 miliar, dia bisa memilih apakah dengan tarif normal atau insentif yang sebesar 0,5 % final yang diberikan pemerintah,” terang Wahyu dalam Focus Group Discussion dengan tema Kebijakan Perpajakan Homestay Desa Wisata, Rabu (20/2/2019).
Namun tak hanya PPh, masih ada beberapa jenis pajak daerah yang dikenakan kepada pelaku usaha. Guru Besar Ilmu Kebijakan Perpajakan Universitas Indonesia Haula Rosdiana menjelaskan, pengenaan pajak yang diterapkan oleh pemerintah tentunya dapat mempengaruhi arus kas para pelaku usaha.
Apalagi, untuk pajak daerah biasanya terdapat minimal 3 hingga 4 jenis pajak yang dikenakan kepada pelaku usaha homestay desa wisata.
“Pertama dikenakan pajak hotel sebesar 10%, kedua Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) lalu ketiga pajak penerangan jalan, juga pajak air tanah,” terang Haula.
Padahal menurut Haula, pemerintah memiliki ruang untuk menunjukkan keberpihakannya kepada pelaku usaha homestay desa wisata dengan memberikan insentif pajak baik secara langsung mapun tidak langsung.
Dia mencontohkan, pemerintah daerah bisa membuat aturan terkait leveling tarif pajak hotel. Sehingga, tarif pajak yang dikenakan terhadap homestay dengan hotel-hotel yang skalanya besar berbeda. Atau pemerintah daerah bisa melakukan pengurangan PBB P2.
“Keberpihakan pemerintah bisa ditunjukan dengan instrumen perpajakan. Karena itu saya mengatakan politik perpajakan yang pro pada mereka harus kuat, jangan hanya soal revenue,” terang Haula.***
Sumber: Kontan