Udara sejuk dan teduh dengan awan kelabu yang menggelayut menyambut begitu tiba di gerbang masuk kawasan wisata Gunung Puntang, Kabupaten Bandung, belum lama ini.
Setelah berkendara selama satu setengah jam dari pusat Kota Bandung via Dayeuhkolot-Banjaran, kami tiba di area wisata gunung sarat sejarah tersebut. Selepas melewati gerbang, motor yang kami tumpangi melaju di aspal penuh bebatuan terjal menuju situs wisata pertama yang akan ditemui pengunjung begitu memasuki kawasan ini, yakni bumi perkemahan.
Kala itu, meski cuaca mendung, sejumlah tenda nampak telah terpasang di sejumlah titik perkemahan. Ketika melintasi titik-titik lokasi perkemahan, ada hal yang sangat mencuri perhatian kami di antara hamparan rumput dan rindang pohon pinus.
Di sekeliling area kemah, terdapat cukup banyak reruntuhan bangunan tua yang hanya menyisakan separuh pondasi. Seluruh sisa-sisa pondasi bangunan tersebut tersusun dari batu. Sebagian reruntuhan masih memiliki sejumlah sisi dinding-dinding yang telah rusak. Sebagian besar permukaannya ditumbuhi lumut dan rumput liar.
Sekilas, di bawah langit yang mendung dan diselubungi kabut, area perkemahan Gunung Puntang tersebut nampak tentram sekaligus juga ‘misterius’. Seolah setiap puing yang masih berdiri menyimpan sejarahnya sendiri-sendiri.
Sisa Kemegahan Stasiun Radio Malabar Bukan hanya di area kemah, di dataran lembah antara Gunung Puntang dan Gunung Haruman juga terdapat reruntuhan serupa dengan ukuran yang lebih besar. Di sana terdapat sisa bangunan dan bekas kolam besar dengan sudut yang meruncing.
Kedua sisi di seberangnya melengkung menyerupai simbol hati. “Kolam Cinta,” demikian para wisatawan kerap menyebutnya. Ketika kami berjalan ke sebelah kanan bagian muka kolam, terdapat sejumlah anak tangga yang mengarah pada penampungan air. Bangunan penampung air nampak berusia sama dengan kolam dan reruntuhan lainnya.
Usut punya usut, keseluruhan reruntuhan bangunan yang terdapat di komplek wisata Gunung Puntang adalah peninggalan kantor Stasiun Radio Malabar. Stasiun radio tersebut merupakan penghantar pesan telegraf nirkabel bersejarah yang dapat menghubungkan Bandung dengan Den Haag, Belanda.
Stasiun Radio Malabar dibangun sejak 1917 oleh peneliti bidang elektro berkebangsaan Belanda, Dr. Ir. C.J. de Groot. Pada 1927, tak hanya telegraf, pesan suara pun kemudian dapat disambungkan antara dua negara tersebut melalui gelombang yang dipancarkan antena sepanjang 2 kilometer. Antena tersebut membentang dari puncak Gunung Puntang hingga Gunung Haruman.
Teknologi ini merupakan yang pertama beroperasi secara komersil di Hindia Belanda. Bila menelisik dari foto-foto yang dikumpulkan oleh Tropenmuseum Belanda–yang juga dicetak dan dilaminasi oleh para petugas wisata Gunung Puntang–kantor utama Stasiun Radio Malabar berada persis di depan Kolam Cinta.
Bangunannya nampak megah dengan dua pilar besar di sisi kanan dan kirinya. Kolam Cinta pun tak lain merupakan bagian dari kantor tersebut. Fungsinya selain sebagai hiasan pemanis kantor, juga sebagai pendingin alat-alat pemancar gelombang radio yang ada di dalam kantor.
Fungsi yang sama juga berlaku pada penampungan air yang kami lihat tak jauh dari Kolam Cinta. “Kalau tidak salah pembangunannya berlangsung dari 1918 hingga 1923. Itu pun enggak langsung selesai. Pada 1940 ada penambahan konstruksi bangunan, jadi lebih megah. Gedung Stasiun Radio Malabar sering disebut ‘Gedung Sebahu’. Luas arealnya satu hektar,” ungkap salah satu Petugas Wisata Gunung Puntang, Didin Wahyudin (45).
Dirinya menuturkan, di area seluas 1 hektar tersebut juga berdiri sejumlah bangunan lain di belakang bangunan kantor utama. Salah satunya adalah bangunan yang dipergunakan sebagai bengkel. Saat ini, keseluruhan bangunan tersebut menyisakan sejumlah tembok-tembok batu yang terhalang ilalang.
Membelah Hutan demi Menyambung Rindu
Membangun gedung megah di tengah belantara Gunung Puntang di era tersebut tentu bukan perkara mudah. Lokasi ini dipilih De Groot dan rekan-rekannya karena langsung menghadap ke Belanda.
Sudut menyempit dari Kolam Cinta merupakan penunjuk arah yang mengarah ke negeri Kincir Angin tersebut. Kala itu, warga pribumi juga terlibat membangun sejumlah infrastruktur yang diperlukan guna menunjang operasional Stasiun Radio Malabar. Mulai dari aspal jalan menuju kantor, kabel pemancar di puncak gunung, bangunan-bangunan penampung air, kolam pendingin peralatan, pembangkit listrik, rumah-rumah persitirahatan pegawai, dan sebagainya.
Terlepas dari bangunannya, upaya menyambungkan Indonesia dan Belanda via udara tersebut memiliki lika-likunya tersendiri. Berbagai penelitian dan percobaan dilakukan De Groot, hingga akhirnya memutuskan memperbesar Stasiun Radio Malabar untuk koneksi yang lebih kuat. Pada 1927, sambungan suara perdana antara Bandung dan Den Haag dapat terekam. Kalimat pertama yang terdengar adalah, “Hallo, Bandoeng! Hier Den Haag!” (Halo, Bandung! Di sini Den Haag!).
Sejak saat itu, terutama ketika sambungan telepon tersebut dikomersialisasi pada 1929, komunikasi antara warga Belanda di negera jajahannya dengan sanak keluarga di kampung halaman mereka banyak terjalin. “Kota” yang Hilang Berbeda dengan saat ini, kawasan Gunung Puntang di era kejayaan Radio Malabar tak ubahnya sebuah kota kecil yang ramai dilalui orang.
Meskipun berada jauh dari ingar-bingar lalulintas jalan, di sekitar area kantor pemancar radio berdiri sejumlah bangunan lain dengan fungsi yang beragam. Bangunan-bangunan inilah yang reruntuhannya dapat dilihat tersebar di sejumlah titik area perkemahan.
Pegiat sejarah Komunitas Aleut Bandung, Hevi Abu Fauzan mengatakan, bangunan tersebut di antaranya dipakai sebagai rumah peristirahatan atau rumah dinas para karyawan Stasiun Radio Malabar. Tak hanya rumah-rumah, kala itu dibangun pula sarana rekreasi dan olahraga seperti lapang tenis hingga bioskop.
“Di bawah akhirnya dibuat semacam kota. Di sana ada bangunan rumah dinas, lapang tenis, dan ada juga bioskop yang letaknya ada di daerah atas (dari rumah dinas),” ungkapnya.
Salah satu dokumentasi yang tersisa dari fasilitas-fasilitas tersebut adalah sebuah foto yang menangkap momen para pekerja Stasiun Radio Malabar tengah bermain tenis di lapang tenis. Di sisi lapangan tersebut terdapat anak tangga menuju rumah-rumah peristirahatan. Saat ini, lapang tenis tersebut difungsikan sebagai salah satu area perkemahan. Bangunan-bangunan rumah dalam foto tersebut hanya menyisakan pondasi dan tiang bekas instalasi listrik.*
Penulis : Nur Khansa Ranawati