THINKWAY.ID – Rokok dan olahraga. Dua hal yang dalam pemahaman publik masa kini, sangat bertolak belakang. Olahraga menyehatkan tubuh, sementara rokok selalu mendapat stigma dalam memperburuk kesehatan. Akan tetapi, di masa silam, rokok dan olahraga, pernah punya hubungan mesra. Seperti apa kisahnya?
Sekarang masyarakat sangat susah menemui sebuah event olahraga atau tim olahraga tertentu yang disponsori oleh merk rokok. Misalnya dalam perhelatan Piala Dunia Qatar 2022, mustahil menemukan merk rokok sebagai salah satu sponsor. Di masa lalu, kita dengan mudah menemui sponsor rokok dalam sebuah perhelatan olahraga dunia. Siapa yang tak kenal tim papan atas balap mobil F1, Ferrari dengan merk Marlboro merahnya, atau rokok Camel yang menjadi sponsor sebuah tim balap motor MotoGP.
Rokok dan Sepakbola Indonesia
Kali pertama perusahaan rokok menjadi sponsor utama Liga Indonesia, saat kompetisi ini masih di era perserikatan, era 1989-1990. Saat itu liga bernama “Djarum Super Divisi Utama Perserikatan”. Saat era Liga yang lebih profesional dimulai pada 1994, Dunhill menjadi sponsor utama Liga Indonesia. Dengan gelontoran dana Rp 4,5 miliar per musim, nama kompetisi pun menjadi Liga Dunhill.
Nama produk rokok asal Amerika Serikat tersebut terpampang pada bagian depan jersey seluruh klub peserta liga. Dunhill tercatat menjadi sponsor Liga Indonesia selama dua musim, membuat sejumlah perusahaan rokok lain turut mengambil peluang menjadi sponsor. 1996-1998, perusahaan rokok Amerika Serikat lainnya, Kansas, menjadi sponsor Liga Indonesia. Kala itu Kansas menyuntikan dana sebesar Rp 5,3 miliar per musim.
Brand rokok sempat vakum menjadi sponsor Liga Indonesia selama beberapa musim, sampai akhirnya Liga Indonesia kembali mesra dengan perusahaan rokok saat Djarum Super muncul sebagai sponsor pada musim 2005. Djarum cukup lama bertahan, hingga ke Era Liga Super di tahun 2011.
Sementara itu perusahaan rokok PT Bentoel Prima muncul sebagai sponsor utama Piala Indonesia pada 2005. Dji Sam Soe dari perusahaan rokok Sampoerna juga sempat menjadi sponsor Piala Indonesia dengan nama Copa Dji Sam Soe.
Dengan demikian, PT Djarum menjadi pabrikan rokok terakhir yang mensponsori liga sepak bola Indonesia. Warisannya adalah, nama “Super” masih ada menempel di nama Liga, terakhir pada musim 2013 dan 2014.
Bahkan salah satu program federasi pusat sepakbola Indonesia PSSI yang bekerjasama dengan Mola, bernama Garuda Select, pernah disponsori Djarum. Sejak 2018, Mola dan PSSI setiap tahun sejak tahun itu selalu menerbangkan lebih dari 20 pemain muda Indonesia ke Inggris untuk mengikuti pemusatan latihan.
Grup Djarum juga berhasil mengangkat tim sepakbola Italia, Como 1907 promosi ke Serie B Liga Italia. Grup Djarum membeli Como 1907 pada 2017. Hanya dalam kurun waktu tiga tahun, Grup Djarum berhasil membawa Como 1907 promosi dari Serie D ke Serie B Liga Italia.
Jejak merk rokok juga hadir dalam tayangan siaran sepak bola luar negeri ketika Djarum menjadi sponsor utama tayangan free-to-air Liga Inggris dan Liga Italia sejak 1998.
Era kemesraan rokok dan sepak bola di Indonesia berakhir lewat Peraturan Pemerintah (PP) nomor 109 tahun 2012 tentang pengendalian produk tembakau. Peraturan ini melarang perusahaan rokok untuk terlibat dalam kegiatan olahraga apa pun. Sponsor rokok tak boleh memasang logo dan menampilkan nama produk pada even yang disponsori.
Pasal 36 pada PP 109/2012 ini menyatakan, produk tembakau yang mensponsori suatu kegiatan lembaga dan/atau perorangan hanya dapat dilakukan dengan tidak menggunakan nama merek dagang dan logo produk tembakau termasuk brand image, dan tidak bertujuan untuk mempromosikan produk tembakau. Pasal yang sama melarang sponsor untuk kegiatan lembaga dan/atau perorangan yang diliput media.
Rokok dan Sponsor Olahraga Lain
Di Indonesia, rokok tak hanya punya peran vital dalam pengembangan sepakbola. Gudang Garam sempat fokus pada olahraga tenis meja, lewat keberadaan Perkumpulan Tenis Meja (PTM) Surya Gudang Garam, Kediri. PTM Surya didirikan pada 1982.
PTM Surya juga melakukan pembinaan atlet, dengan cara mengumpulkan pemain-pemain muda potensial dari pelosok negeri, mendatangkan pelatih-pelatih asing, dan mengirim para atlet binaannya ke turnamen internasional untuk memperbanyak jam terbang. Budget dari Gudang Garam untuk ini rata-rata mencapai 3 miliar per tahun.
Pembinaan ini terhitung mujarab. PTM Surya mampu menghasilkan pemain andal seperti Rossy Sjech Abu Bakar, petenis meja putri yang pernah meraih 12 medali emas dari SEA Games 1987 hingga 1995. Sementara di sektor putra, PTM Surya punya Bambang Sudarto, Edi Sutomo, serta Toni Santoso yang prestasinya tak kalah moncer. Puncaknya, atlet-atlet jebolan PTM Surya menjadi penyumbang terbesar ketika Indonesia berhasil menyapu bersih medali emas dalam gelaran SEA Games 1993.
Kiprah PTM Surya harus berhenti pada Oktober 2008, disebabkan berhentinya pasokan dana yang diberikan Gudang Garam kepada klub. Bubarnya PTM Surya menjadi awal menurunnya prestasi tenis meja Indonesia di level internasional. Dalam beberapa SEA Games, raihan medali dari tenis meja turun drastis.
Dorongan Turnamen Besar
Dalam cabang tenis lapangan, Indonesia pernah menjadi sorotan karena punya turnamen Wismilak International. Wismilak adalah satu brand rokok yang juga populer di Indonesia. Siapa yang tak kenal dengan Yayuk Basuki, legenda tenis Indonesia?
Mulai digelar di Surabaya pada 1994, Wismilak International adalah turnamen tenis perempuan kelas tiga, dua kelas di bawah Grand Slam. Meski demikian, turnamen ini sering kali menjadi ajang bagi ratu-ratu tenis dunia untuk melakukan pemanasan menjelang turnamen-turnamen yang lebih besar.
Karena digelar di Indonesia, atlit lokal punya fasilitas wild card untuk naik ke level turnamen yang lebih besar. Wild card adalah fasilitas khusus yang diberikan kepada petenis untuk mengikuti sebuah turnamen. Pemberian wild card biasanya merujuk kepada petenis junior demi menimba pengalaman atau petenis tuan rumah.
Angelique Widjaja adalah petenis muda yang berpotensi, karena naik ke level atas turnamen tenis lapangan dengan fasilitas ini. Dalam gelaran Wismilak International, Angie mendapat fasilitas tersebut pada 2001, 2004 dan 2006. Sementara Wynne Prakusya pernah mendapatkannya pada tahun 2005.
Kesempatan atlet-atlet tenis Indonesia untuk menimba pengalaman di turnamen internasional itu pupus setelah Wismilak tak lagi menjadi sponsor turnamen sejak 2007. Turnamen pun pindah ke luar negeri .
Kemudian, yang paling fenomenal adalah Beasiswa Perkumpulan Bulu Tangkis (PB) Djarum, yang banyak sekali melahirkan pemain-pemain bulitangkis legendaris Indonesia, bahkan hingga periode sekarang.
Dari Perkumpulan Bulu Tangkis (PB) Djarum, lahir atlet-atlet besar dunia dari Indonesia, seperti Liem Swie King, Alan Budikusuma, Ardy B. Wiranaya, Hariyanto Arbi, Hastomo Arbi, Ivana Lie, Minarti Timur, dan kini duo minion, Kevin Sanjaya Sukamuljo dan Marcus Gideon.
Kita tak bisa menutup mata, ada peran besar industri rokok dalam prestasi para atlet Indonesia.
Fenomena ini seolah menjadi dilema. Di satu sisi mereka dianggap kontradiktif dengan gaya hidup sehat dalam olahraga, tapi di sisi lain, dana yang mereka sediakan umumnya sangat besar, bahkan pemerintah tak mampu mengimbanginya. Setidaknya, selama tidak ada perusahan non-rokok yang menjadi sponsor pengganti.