Industri hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) berpotensi mendapatkan insentif baik fiskal maupun nonfiskal dari pemerintah karena berkontribusi cukup baik pada penerimaan negara meski di tengah pandemi.
Hal itu diungkapkan pengamat kebijakan publik, Trubus Rahardiansyah, dikutip dari Antara, Rabu (24/1/2021).
“Industri yang masih memiliki kinerja yang baik saat pandemi harusnya memang didukung, diberikan insentif oleh pemerintah, karena dampaknya akan lebih besar, kinerja perusahaan, serapan tenaga kerja akan makin meningkat, dan akhirnya pendapatan pajak, cukai ke negara juga bisa makin tumbuh,” ujar Trubus.
Dalam 3 tahun terakhir, penerimaan negara dari cukai HPTL terus meningkat.
Pada akhir 2018 penerimaan cukai HPTL sebesar Rp99 miliar, lalu melonjak menjadi Rp427,01 miliar pada 2019, dan pada akhir 2020 lalu mencapai Rp689 miliar.
Insentif untuk HPTL dapat berupa kebijakan cukai dan regulasi yang berbeda dari rokok konvensional, mengingat industri HPTL padat inovasi dan punya sifat pengurangan risiko. Kerangka regulasi yang sesuai juga diperlukan untuk mendukung tumbuh kembang industri tersebut.
Pemerintah bakal mengguyur sejumlah industri prioritas dengan insentif fiskal dan nonfiskal melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Hal itu seiring diundangkannya beleid turunan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
Beberapa industri yang tidak termasuk prioritas turut memiliki kans yang sama untuk dapat insentif serupa. Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), untuk bidang usaha yang tidak termasuk dalam Perpres 10/2021 tersebut, sepanjang memenuhi kriteria industri pionir sesuai PMK 130/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan, juga bisa mendapat fasilitas pengurangan pajak.
Dalam beleid tersebut dijelaskan perusahaan bisa mendapatkan bebas PPh Badan sampai 100 persen selama lima tahun dengan nilai minimum penanaman modal baru Rp500 miliar. Jangka waktu diberikan lebih lama untuk penanaman modal baru yang lebih tinggi, misalnya di atas Rp500 miliar bisa bebas PPh (pajak penghasilan) sampai tujuh tahun, dan yang paling tinggi bebas PPh sampai 20 tahun untuk penanaman modal baru lebih dari Rp 30 triliun.
Selain bidang usaha yang telah dicantumkan oleh PMK tersebut, industri lain juga bisa digolongkan sebagai industri pionir dengan catatan memenuhi kriteria skor kualitatif minimum 80 yang dinilai oleh BKPM.
Kepala Subbidang Cukai Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Sarno mengatakan, dalam rangka penegakan hukum peredaran rokok ilegal pemerintah akan fokus membentuk kawasan industri hasil tembakau. Kawasan industri ini diharapkan bisa mempermudah pemantauan.
“Kita masukkan mereka ke dalam kelas sehingga mereka bisa kita awasi lebih intensif terkait produksi hasil tembakaunya,” ujar Sarno dalam diskusi secara daring, Jakarta, Selasa (2/2).
Pembentukan kawasan indutri tersebut juga untuk merangkul pengusaha kecil baik Usaha Kecil Menengah (UKM) atau Industri Kecil Menengah (IKM). Sehingga nantinya tidak tertarik untuk masuk ke industri rokok ilegal.
“Kita akan memfokuskan kawasan industri hasil tembakau karena ini untuk memberi kemudahan semacam hasil tembakau bagi pengusaha yang sifatnya UKM atau IKM hasil tembakau. Sehingga mereka tidak tertarik untuk masuk ilegal lagi,” paparnya.
Dia menambahkan, pemerintah nantinya akan bekerja sama dengan seluruh pihak untuk memberantas keberadaan rokok ilegal. “Terkait operasi pemberantasan rokok ilegal kita akan bekerja sama antara Bea Cukai, pemda, pengusaha dan semua pihak,” jelasnya.
Sumber: Liputan 6