Potensi komoditi perkebunan tembakau (tobacco) di Provinsi Jambi, terutama di tiga daerah penghasil, seperti Kabupaten Merangin, Kota Sungai Penuh, dan Kabupaten Kerinci cukup menjanjikan di masa mendatang.
Sehingga pemerintah daerah Provinsi Jambi, melalui Dinas Perkebunan Provinsi Jambi berupaya meningkatkan pembudidayaan monokultur bahan baku rokok tersebut, sekaligus menambah luasan lahan tembakau rakyat yang ada.
Diungkapkan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, Ir Putri Liesdiyanthi, melalui Kepala Bidang Pengembangan dan Penyuluhan Perkebunan, Panca Pria, SP, didampingi Kepala Seksi Penataan Sumber Daya Perkebunan pada Bidang Pengembangan dan Penyuluhan Perkebunan, Junaidi B, SP di Kota Jambi.
“Ada beberapa wilayah penghasil tembakau di Provinsi Jambi, yang kita maksimalkan guna peningkatan pendapatan di tingkat petani, serta mengangkat potensi pendapatan daerah kita, melalui dana bagi hasil cukai tembakau yang dihasilkan daerah penghasil tembakau yang ada, yaitu Kecamatan Jangkat di Kabupaten Merangin, Kecamatan Pondok Tinggi di Kota Sungai Penuh, dan Kabupaten Kerinci, yang mana tumbuh hampir menyebar di seluruh daerah di Kerinci khususnya di daerah Siulak,” papar Junaidi.
Dikatakan Putri Liesdianthie, pihak Dinas Perkebunan Provinsi Jambi terus berupaya meningkatkan potensi komoditi tembakau rakyat di wilayah Provinsi Jambi, terutama peningkatan penghasilan di tingkat petani dan kelompok petani setempat.
“Kita fokus mengembangkan potensi komoditi tembakau di daerah penghasil yang ada, guna peningkatan penghasilan petani kita. Serta meningkatkan pendapatan asli daerah kita, melalui mekanisme dana bagi hasil cukai tembakau di sektor industri tembakau oleh pemerintah pusat kepada daerah penghasil, sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 28/PMK.07/2016 Tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau,” jelasnya.
Lanjut Junaidi menambahkan, luasan lahan tembakau tiga daerah penghasil seluruhnya 654 hektar, dikelola 505 kepala keluarga, dengan total produksi 725 kilogram/hektar/tahun. “Memang masih jauh di bawah angka potensi nasional, yakni 1,2 ton perhektar per tahun,” akunya.
Kendala ditemui di lapangan, ungkapnya, pola tanam masih tradisional dengan tumpang hilir, serta minimnya pengetahuan soal aspek informasi pemasaran dari luar dan lokal.
Ada kelemahan dengan pola tanam tumpang hilir tersebut, menurutnya berpotensi tertular penyakit dari tanaman lainnya. Karena umumnya para petani disana, juga menanam tanaman hortikultura, seperti kopi, kentang, tomat, cabe dan terong.
“Mindset (pola pikir) di tingkat petani kita harus diubah secara perlahan-lahan. Bagaimana kita mencoba membudidayakan secara monokultur tembakau kita di tingkat kelompok tani, tidak seperti sekarang dengan pola tanam yang masih tradisional, dengan tumpang hilir, dan tentu saja berdampak terhadap produksi kita yang masih sedikit sekali di bawah potensi nasional,” pungkasnya.
Disamping itu, kata Junaidi, komoditi tembakau rakyat dari ketiga daerah penghasil sangat cocok sebagai bahan baku industri rokok kretek di tanah air.
Minimnya pengetahuan pemasaran tembakau lokal di tingkat petani, justru masih kendala sampai sekarang, masih dikuasai pedagang pengumpul dari luar daerah, seperti petani menjual hasilnya ke pedagang pengumpul dari Kota Payakumbuh, Provinsi Sumatera Barat untuk tujuan ekspor.
“Di tingkat petani saat ini, mereka memperoleh penghasilan antara Rp.8.000-Rp.10.000 perlipat per kepala keluarga, dan perlu ditingkatkan lagi kedepannya,” sebutnya.***
Sumber: Wartanews