‘Benci tapi rindu’ itu lah, perumpamaan yang pas bagi pemerintah terhadap komoditas tembakau.
Perumpamaan itu diungkapkan Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Barat, Suryana di Tanjungsari, Kab. Sumedang Jumat 7 Januari 2022, saat ditemui tim Pikiran-Rakyat.com.
Perumpamaan itu, terucap renyah ketika Suryana menanggapi dampak kenaikan cukai hasil tembakau per 1 Januari 2022 senilai 12% dan khusus untuk SKT 4,5%, terhadap industri rokok dan para petani tembakau di Jawa Barat, khususnya di Tanjungsari Kabupaten Sumedang.
Menurut Suryana, seberat-beratnya dampak kenaikan cukai hasil tembakau oleh pemerintah, yang sengsara tetap para petani tembakau.
Bahkan petani tembakau, ujung penderitaan dari dampak kebijakan pemerintah yang terus-menerus menaikkan cukai hasil tembakau, seperti terjadi tahun ini.
“Ujung penderitaan dari kenaikan cukai hasil tembakau, ada di petani, ” ujar Suryana.
Menurut dia, kenaikan cukai hasil tembakau, memang dampak langsungnya terhadap industri rokok.
Akan tetapi, bagi industri rokok tidak jadi masalah, bahkan mereka tidak mau ambil pusing. Ketika cukai hasil tembakaunya dinaikan pemerintah, pengusaha industri rokok tinggal menekan harga jual tembakau dari petani dengan harga murah.
“Nah, kalau petani, mau menekan siapa? Kenaikan cukai ini sistem berantai yang pada akhirnya petani yang menjadi korban karena tidak punya sandaran dan pijakan. Mau tidak mau, petanilah yang harus menanggung beban penderitaan dan kesengsaraan dari dampak aturan dan kebijakan pemerintah tersebut,” ucap Suryana.
Dikatakan, pemerintah dalam hal ini kementerian keuangan dalam konteks menaikkan cukai hasil tembakau, diumpamakan ‘benci tapi rindu’.
Pemerintah ‘membenci’ tembakau, dengan pertimbangan untuk menjaga kesehatan masyarakat. Dalihnya, menaikkan hasil cukai tembakau untuk mengendalikan konsumsi rokok di masyarakat, terutama pada anak-anak dan remaja.
Akan tetapi, dibalik itu ada ‘kerinduan’ dari pemerintah untuk memetik pendapatan negara yang cukup besar dari cukai rokok tersebut. Bahkan cukai rokok itu, bagian devisa negara yang cukup besar.
Apalagi hasil dari cukai rokok yang besar itu, dipakai untuk pembangunan dan membiayai berbagai program serta kegiatan, terutama bidang kesehatan.
Pendapatan cukai rokok, dibagikan kepada daerah kabupaten/kota berupa DBHCT (Dana Bagi Hasil Cukai Rokok).
“Makanya, ungkapan pemerintah terhadap komoditas tembakau ini, benci tapi rindu. Konsumsi rokok dikurangi demi menjaga kesehatan, tapi cukai tembakaunya sangat dibutuhkan. Jadi seolah-olah pemerintah melarang merokok tapi butuh uang dari rokok (cukai tembakau-red),” ucap Suryana
Ironisnya lagi, kata dia, anggaran DBHCT yang cukup besar itu, bukannya dipakai lagi untuk membantu meringankan beban produksi pertanian tembakau para petani supaya mereka hidupnya sejahtera, justru dananya malah dipakai untuk kepentingan program kesehatan.
“Singkatnya, biaya kesehatan, dari uang hasil cukai rokok. Ironis kan. Kalau mau, jangan dari cukai rokok, tapi ambil dana dari pos lainnya,” katanya.
Lebih jauh Suryana menjelaskan, kondisi para petani tembakau sekarang ini, tak beda seperti sapi perahan.
Susunya terus diperas, tapi pakannya tidak diberikan. Padahal, petani tembakau itu penyumbang devisa negara.
“Saya keras saja, pemerintah itu munafik. Disatu sisi gencar mengurangi tingkat konsumsi rokok di masyarakat dengan terus menaikkan cukai tembakau, tapi disisi lain pemerintah sangat membutuhkan dana bagi hasil cukai tembakau tersebut,” tuturnya
Ia mengatakan, peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan cara menaikkan tarif cukai, itu hanya dalih pemerintah saja. Sebab, kenyataan yang dirasakan para petani sekarang, kurang perhatian pemerintah.
Padahal, para petani yang notabene hidup di pedesaan, kesehariannya mengandalkan pendapatan dari bertani dan berkebun tembakau. Bahkan, petani tembakau itu pahlawan devisa untuk pendapatan negara.
“Para petani tembakau, turut andil membangun negara dengan cukai tembakaunya,” ujarnya.
Seharusnya, kata Suryana, sebagai penghasil devisa negara, para petani tembakau dilindungi pemerintah. Bentuk perlindungannya, yakni mempertahankan eksistensi para petani tembakau serta meningkatkan standar kualitas tembakau dengan cara pelatihan keterampilan.
“Yang paling penting, pemerintah membuat terobosan, yakni memberikan bantuan subsidi pupuk. Subsidi pupuk nu penting mah,” ujar Suryana. (sumber berita: pikiranrakyat.com)