Artikel ini merupakan bagian lanjutan dari artikel dengan judul Belajar Sejarah dan Cita Rasa Tembakau Indonesia
THINKWAY.ID – Bicara sejarah tanaman tembakau sebagai sektor industri perkebunan yang dikelola secara besar-besaran tentu ialah buah kebijakan Pemerintah Belanda. Tingginya nilai tembakau dalam perdagangan dunia saat itu, Gubernur Jenderal Van den Bosch mengeluarkan kebijakan kulturstelsel menempatkan tanaman tembakau sebagai salah satu komoditas yang harus ditanam. Disebut onderneming yaitu perkebunan budidaya yang diusahakan secara besar-besaran dengan piranti teknologi modern. Pelaksanaan tanam paksa di Hindia Belanda itu dilaksanakan bersamaan dengan memuncaknya harga komoditas tembakau di Eropa.
Dikutip dari laman, Indonesia.go.id, sebutlah popularitas “Deli Tabak” atau “Tembakau Deli” di Eropa nantinya, misalnya, dimulai dari ekspansi onderneming tembakau di Sumatera Timur. Dipelopori seorang Belanda J. Nienhujs. Datang ke Deli atas ajakan Said Abdullah pada 1863, Nienhujs berhasil mendapatkan konsesi tanah dari Sultan Deli untuk membuka perkebunan. Letaknya di tepi Sungai Deli dengan luas 4.000 bau (1 bau = 0,7 hektare). Perjanjian konsesi diberikan selama 20 tahun. Selama lima tahun pertama dia dibebaskan dari pajak dan sesudah itu baru membayar 200 gulden setahun. Kendati awalnya kurang berhasil, tetapi sejak itu ekspansi ekonomi perkebunan mulai berjalan dengan skala besar.
Pada tahun 1869 Nienhuijs mendirikan Deli Maatschappij, sebuah perseroan terbatas pertama yang beroperasi di Hindia Belanda dengan kantor pusatnya di Rotterdam. Dari tahun ke tahun jumlah perkebunan tembakau terus bertambah. Tercatat, dari 1 onderneming tembakau di 1864, kemudian naik dan naik hingga mencapai puncaknya pada 1891 dengan onderneming tembakau berjumlah 169 titik. Lokasinya tidak semata di Deli tetapi meluas hingga Langkat dan Serdang. Kemunculan perkebunan tembakau juga bukan hanya terjadi di Sumatra Timur tetapi juga bermunculan di Pulau Jawa. Pertumbuhan industri perkebunan tembakau ini sejalan dengan kenaikan angka ekspor tembakau ke Rotterdam. Kualitas tembakau Indonesia dikenal sebagai salah satu tembakau terbaik di dunia.
Namun sejalan munculnya overproduction di pasar dunia, juga boikot atas praktik poenale sanctie terhadap buruh-buruh perkebunan, penerapan bea McKinley, dan tentunya juga penurunan harga tembakau, maka di 1904 jumlah onderneming tembakau di Sumatera Timur susut jadi 114. Bahkan menjelang krisis ekonomi 1930-an, yang sering disebut oleh Bapak Proklamator Soekarno-Hatta sebagai “zaman meleset”, pada 1928 jumlah onderneming tembakau tercatat 72 titik; saat krisis ekonomi 1931 tercatat turun menjadi 67 titik; 1932 tercatat turun lagi jadi 61 titik; dan pada 1934–1940 tinggal tersisa 45 onderneming tembakau. Fenomena yang sama tentu juga terjadi di Jawa.
Demikian terkenalnya komoditas tembakau Indonesia di dunia, sejak 1959 Indonesia juga telah menjalin kerja sama perdagangan dengan pasar lelang tembakau Bremen di Jerman. Tembakau Indonesia khususnya dari Sumatera menjadi primadona penggemar cerutu di Eropa. Kerjasama perdagangan melalui mekanisme lelang dimulai dengan pembentukan Tabak Börse, 1961. Dimulai sejak 1959 saat proses pelelangan tembakau hasil panen perkebunan di Indonesia harus dipindahkan dari Rotterdam, Belanda.
Indonesia bukan hanya menghasilkan tembakau berkualitas di tingkat dunia, hal lain menarik dicatat ialah munculnya prototipe industri nasional: kretek. Bagaimanapun, kretek ialah produk khas dan asli Indonesia yang secara spesifik berbeda dari rokok pada umumnya. Kretek, bukan hanya merupakan perpaduan dari beragam tembakau yang diracik menjadi satu, namun sekaligus juga diramu dengan cengkeh dan bahan rempah lainnya. Karakteristik cita rasa kretek yang khas benar-benar merajai pasar nasional dan nisbi jadi penghalang kuat masuknya produk rokok negara-negara lain.