Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak kota/kabupaten yang banyak tetapi juga memiliki desa yang tersebar di pelosok negeri. Banyaknya desa yang ada membuat saya mempertanyaakan sejauh mana sih negara memberikan hak – hak desa dalam pemenuhan kesejahteraannya?
Dalam kenyataannya, yang saya ketahui saat ini, jumlah penduduk miskin di pedesaan selalu lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Mungkin dengan gencarnya pemerintah mengalakan berbagai program untuk daerah 3T (daerah terdepan, terpencil dan tertinggal) membuat desa saat ini mulai mengalami kemajuan.
Berdasarkan data milik Badan Pusat Statistik (BPS) indeks keparahan kemiskinan pada September 2021 mengalami peningkatan menjadi 0,59 persen dibandingkan Maret yang tercatat 0,57 persen. Persentase itu menunjukan kesenjangan sosial di masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan semakin melebar.
Mengutip data dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kementerian Dalam Negeri, di Indonesia saat ini terdapat 83.381 desa/kelurahan yang tersebar di 34 provinsi di Seluruh Indonesia. Contoh rician desa terbanyak adalah di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki 8.562 desa/kelurahan yang tersebar di 576 kecamatan di 35 kabupaten/kota.
Dengan banyaknya desa/kelurahan yang ada yang menjadi pertanyaan apakah desa-desa ini dapat bersaing dan melepaskan diri dari stigma kemiskinan yang ada?
Salah satu cara pemenuhan kesejahteraan desa yang digembar gemborkan pemerintah melalui Badan usaha Milik Desa (BUMDes). Sebelumnya, seringkali legalitas BUMDes terganjal oleh legitimasi hukum BUMDes itu sendiri akibat payung hukum dan undang-undang yang tumpang tindih sampai kemudian kabar segar datang dari UU Cipta Kerja.
UU Cipta kerja memberikan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan BUMDes, koperasi, serta UMKM untuk menjalankan usaha. Dalam pasal 109 dalam UU Cipta Kerja dengan jelas memudahkan BUMDes untuk mendirikan perseroan terbatas perorangan. Selain itu juga ada keringanan untuk biaya pendirian badan hukum untuk BUMDes.
Secara tegas, UU Cipta Kerja membuka peluang bagi BUMDes untuk mengembangkan usaha dan penegasan sebagai badan hukum. Status sebagai badan hukum membuat peran BUMDes semakin penting, yaitu sebagai konsolidator produk atau jasa, produsen berbagai kebutuhan, dan inkubator usaha masyarakat. Namun dalam usaha pengesahannya, UU Cipta kerja juga dinilai masih penuh dengan problematika.
Dan bahkan setelah permasalahan tata Kelola dan payung hukum ini nantinya selesai, BUMDes akan menghadapi sebuah struktur ekonomi di Indonesia dimana basisnya adalah ekonomi elit sehingga BUMDes bisa jadi justru terbentur oleh demokrasi ekonomi yang ada.
Fokus berikutnya adalah bagaimana BUMDes memiliki kekuataan bukan hanya secara ekonomi namun juga kekuatan secara sosial? BUMDes dituntut untuk menciptakan jaringannya sendiri sebagai Badan Usaha berdasarkan UU Cipta Kerja. Karena kini BUMDes tidak lagi harus bergantung atas Kerjasama perusahaan swasta melainkan juga bisa menjadi perusahaan itu sendiri. Semoga desa – desa yang ada saat ini dapat bersaing dengan adanya BUMDes yah.