Jalan Karanggetas di Kelurahan Pekalangan, Kecamatan Pekalipan, Kota Cirebon, menjadi suatu kawasan yang dikenal memiliki mitos. Konon, seseorang yang memiliki kekuasaan seperti pejabat maupun mereka yang memiliki kesaktian kanuragan melintasi jalan itu, kekuasaan maupun kesaktiannya akan luruh.
Ketua Lembaga Basa lan Sastra Cirebon yang rutin mengamati budaya Cirebon, Nurdin M Noer memandang, mitos tersebut tak lepas dari cerita rakyat bertokoh Syekh Magelung Sakti yang diyakini masyarakat Cirebon pernah hidup di masa lampau.
Ketika itu, Syekh Magelung Sakti merupakan seorang pria dengan kesaktian tinggi. Tokoh ini terkenal dengan rambut panjangnya yang kerap digelung, hingga membuatnya memperoleh julukan Syekh Magelung Sakti. “Konon, dia merupakan pangeran dari Baghdad,” kata Nurdin, belum lama ini.
Tingginya kesaktian tak membuat sang syekh puas diri. Setiap melewati sebuah wilayah, dia akan mencoba berduel dan berguru kepada setiap orang sakti di wilayah itu. Tak sekedar panjang, rambut Syekh Magelung Sakti konon memiliki kekuatan yang tak bisa dipangkas dengan benda apapun.
Menurut Nurdin, dengan congkaknya, Syekh Magelung Sakti menantang siapa saja untuk mencukur rambut panjangnya yang sampai menyentuh tanah. Suatu masa, ketika dirinya melintasi Karanggetas, dia bertemu seorang pria berambut dan berjanggut putih. “Orang berambut putih ini adalah Sunan Gunung Jati, yang kemudian berhasil memotong rambut panjang Syekh Magelung Sakti,” tuturnya.
Cerita rakyat inilah yang konon melatari penamaan Karanggetas. Namun, lanjut Nurdin, menurut manuskrip Purwaka Caruban Nagari yang ditulis Pangeran Wangsakerta pada 1740, penamaan Karanggetas berkaitan dengan situasi alam dan sosial kala itu.
“Karanggetas itu dari kata karang yang berarti tanah dan getas atau amblas. Artinya, tanah yang mudah amblas,” terangnya.
Dengan kata lain, Karanggetas yang di masa lampau berupa jalan setapak tanpa bangunan apapun dikenal sebagai kawasan yang labil akibat tanahnya yang mudah amblas. Pada sekitar 1400, ketika Cirebon masih berupa hutan yang baru dibuka (babad alas), tengah berlangsung pembangunan keraton (Kesultanan Cirebon) dan masjid (Masjid Agung Sang Cipta Rasa).
Material yang digunakan untuk membangun semua itu berupa kayu-kayu jati yang diambil dari hutan. Menggunakan sebuah pedati yang dikenal bersejarah, Pedati Gede, yang ditarik kerbau bule, pengangkutan kayu selalu menghindari kawasan Karanggetas. “Karena tanahnya suka amblas, enggak mungkin lewat Karanggetas. Pengangkutan kayu untuk pembangunan keraton dan masjid pun harus lewat jalan lain,” paparnya.
Nurdin yang juga dikenal sebagai jurnalis senior di Cirebon ini mengaku, sepanjang hidupnya belum pernah menemukan seorang pejabat atau orang yang memiliki kesaktian luntur kekuatannya setelah melintasi Jalan Karanggetas.
Menurutnya, mitos Jalan Karanggetas yang bisa meluruhkan kekuatan seseorang, belakangan pun tampak memudar. “Para wali kota di zaman saya masih di lapangan sebagai jurnalis, kalau hendak menghadiri upacara Pelal atau Panjang Jimat di keraton, lewat saja ke Jalan Karanggetas kok. Kalau memang ada pejabat yang turun dari jabatannya, setahu saya ya karena memang sudah habis saja masa jabatannya atau karena hal lain,” ungkapnya.
Dia mengingatkan, kehidupan manusia layaknya roda berputar. Kekuatan apapun, entah kekuasaan atau kesaktian, nyatanya tak bisa bertahan selamanya. Menurutnya, semua itu kembali kepada diri masing-masing. Sekuat-kuatnya manusia, hanya Tuhanlah yang Maha Segalanya.
“Kan tidak ada yang bisa menandingi Tuhan. Semuanya kembali kepada diri sendiri, tidak ada yang abadi,” ujarnya. (Erika Lia/Ayo Cirebon)