MEMBAKAR daun tembakau kering dengan dibubuhi garam sebagai alat ‘mengusir’ virus corona beredar di media chatting popular WhatsApp belum lama ini. Metode tradisional ini diyakini bisa mencegah penyebaran virus serta mahluk mikroba berbahaya lainnya. Meski belum ada penelitian khusus mengenai asap tembakau dan garam bisa mengusir virus corona, namun hal itu diklaim merupakan terusan penelitian lama saat wabah ebola menyerang dunia, sekitar 16 tahun silam.
Pemberi informasi cara mencegah virus corona cara tradisional itu adalah Rasmono, warga Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Pria yang berprofesi sebagai dokter ahli herbal itu mempraktikkan cara membakar daun tembakau yang dia lakukan di luar Gedung Pusat Pengolahan Pasca Panen Tanaman Obat (P4TO) Kabupaten Bondowoso.
“Ini adalah pembakaran tembakau dan garam untuk menghalau virus Corona,” kata Rasmono dalam video tersebut, sambil menunjukkan tungku kecil tempatnya membakar tembakau dan garam seperti yang diberitakan Haibunda belum lama ini.
Rasmono mengatakan, sudah ada bukti mengenai khasiat daun tembakau yang digunakan sebagai ‘pengaman’tradisional saat kasus flu burung melanda Indonesia. Kandang ayam yang menjadi tempat tinggal para ayam ternak diasapi dengan daun tembakau olahan khusus atau devine dan garam. Fungsinya tak lain untuk membunuh hama pertanian, baik virus maupun bakteri.
Ia bahkan mengemukakan hasil penelitian di bidangnya milik dokter Greta, yang terkenal dengan metode pengobatan balur dengan tembakau. Penelitian yang dihasilkan dokter Greta yakni tembakau yang diolah menjadi devine. Namun, saat pengasapan dilakukan, asap yang dihasilkan tidak boleh sengaja dihirup oleh manusia.
Rasmono menjelaskan bahwa cara membunuh Corona dengan membakar tembakau dan garam itu, berdasarkan temuan yang telah dilakukan ahli lain. Bahkan, sudah terbukti menghalau virus flu burung beberapa tahun silam. Tembakau memang digunakan untuk terapi penyembuhan penyakit degeneratif seperti kanker, diabetes, dan juga termasuk autis.
“Jadi aman karena sudah diolah menjadi asap nano yang bebas dari radikal bebas, bahkan untuk menetralisir udara yang mengandung radikal bebas akibat polusi dari pembakaran BBM,” ujarnya.
Masih menurut hasil penelitian dokter Greta, kata Rasmono, kandungan nikotin pada tembakau, menurutnya juga tak berbahaya jika bisa dikendalikan sesuai dengan kebutuhan. Nikotin bisa membersihkan lingkungan dari pencemaran radikal bebas air raksa. Meski begitu, Rasmono tak menampik jika pendapatnya itu masih menjadi kontroversi.
“Menurut penelitian dokter Greta dan kawannya, nikotin itu baik, bukan berbahaya. Nikotin selama ini berbahaya karena tercemar dengan logam berat air raksa pada saat masih berbentuk pohon tembakau. Nah logam berat , imbas dari pemanasan global pembakaran BBM oleh industri dan kendaraan bermotor. Tapi memang kontroversi,” ungkapnya.
Cara Tradisional
Mengilhami cara tradisoonal tersebut, Rasmono juga menguatkan pendapatnya dengan cara masyarakat tradisional terdahulu dalam memerangi wabah atau pagebluk. Minimnya informasi zaman dulu tak membuat warga lantas menyerah dengan keadaan saat wabah muncul.
Orang-orang pada zaman dulu masih kental dengan kepercayaan yang bersifat magis, yang kini dimutakhirkan memiliki kesinambungan dengan imu sains. Memanfaatkan alam sebagai bahan perlindungan diri dan pengobatan menjadi pilihan utama ketimbang menggunakan bahan kimia buatan yang rentan merusak lingkungan serta tubuh manusia. Sebagai contoh, adalah penggunaan cairan klorin yang sebenarnya tidak direkomendasikan karena berbahaya dan bersifat karsinogenik yang bisa menyebabkan kanker.
“Saya itu kan mengambil dari sisi kearifan lokal, bukan dari sisi ilmiahnya. Karena saya kan di bidang pengobatan tradisional. Kita masih ingat sebelum tahun 1990-an ketika terjadi wabah atau pagebluk, kakek buyut kita menyarankan membakar garam secara masal, di depan setiap rumah menjelang Maghrib, dan itu berlangsung turun temurun,” imbuh Rasmono.
“Mungkin Anda mengira ini berhubungan dengan hal magic, membakar garam untuk mengusir makhluk halus. Itu hanyalah istilah karena zaman dulu belum tahu bahwa yang dimaksud makhluk halus yang menyebabkan pagebluk atau wabah adalah virus,”jelasnya.
Tak dipungkiri, keterkaitan ilmiah dengan keyakinan masyarakat tradisional zaman dahulu masih berkesinambungan hingga sekarang. Garam yang digunakan untuk pengobatan pun terbukti secara ilmiah bisa menjadi zat antiseptik meredakan sakit gigi, sariawan, hingga radang tenggorokan dengan berkumur air garam.
Tak hanya itu, garam juga dapat digunakan untuk pengawet ikan, daging, dan membuat makanan atau sayur tak cepat basi. Garam dalam bentuk padat maupun uap ketika dibakar mempunyai khasiat yang sama yaitu sebagai antiseptik. Garam menjadi salah satu perpaduan alami dan ilmiah yang bermanfaat bagi kesehatan.
“Mengapa garam? Karena garam murah dan mudah didapatkan dan penggunaanya pun simpel,” ujarnya.
“Kalau membakar garam adalah warisan leluhur kita, mengapa di masa wabah ini tidak kita lakukan. Jika ditambah tembakau secara masal dan bersamaan, maka udara ini akan dipenuhi antiseptik yang membuat virus corona secara masal juga musnah.”
Menurutnya, penggunaan bahan alami bagus karena tidak bisa dilawan dan tidak ada resistensinya. Sedangkan pengobatan buatan seperti antivirus maupun vaksin tidak bisa diandalkan, karena virus mudah bermutasi.
Mengenai penularan virus Corona sendiri, Rasmono menyamakannya seperti virus flu biasa dan flu burung. Virus ada di udara, sehingga diharapkan dengan membakar tembakau dan garam, virus bisa mati.
“Katanya virus tidak menular di udara, tapi kenyataannya sekarang orang pada positif virus Corona bahkan tanpa kontak dengan pasien, itu seperti flu influenza. Kita tahu pas perubahan musim, itu kan kita bisa kena flu sendiri, berarti virus flu itu ada di udara. Virus flu burung, Corona, dan flu biasa, mekanisme kerjanya sama,” ujarnya.
Lebih lanjut, Rasmono berharap metode tradisionalnya tersebut bisa diteliti lagi oleh para ilmuwan. Ia ingin dengan kearifan lokal asli Indonesia bisa mengakhiri pandemi Corona.
“Kearifan lokal itu harus kita teliti supaya metodenya lebih bagus, lebih tepat, dan lebih aman. Indonesia kaya akan rempah-rempah dan kearifan lokal. Kalau saja ilmuwan ini mau meneliti, bukan menggunakan metode luar, Insyaallah kita bisa kok,” kata Rasmono penuh harap.
“Asal kita mau open minded, jangan saling menyalahkan dulu, bisa ditanyakan ke ahlinya,” pungkasnya.