Kampanye menaikkan harga rokok dan kawasan tanpa rokok yang dikumandangkan oleh para penggiat anti rokok bukan hanya membunuh para petani tembakau tapi juga berpotensi memotong pendapatan negara. Hal tersebut berkumandang saat buka puasa bersama antara Industri Hasil Tembakau (IHT) dengan Forum Wartawan Pertanian (FORWATAN) di Jakarta, (21/5).
Lebih lanjut, Soeseno Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menguraikan, adanya kampanye anti rokok selama beberapa tahun belakangan ini telah mempengaruhi penurunan permintaan rokok hingga kurang lebih 6 miliyar batang/tahun.
“Misalkan 1 batang rokok isinya 1 gram tembakau berarti ada 6 ribu ton tembakau kering yang terancam hilang akibat penurunan ini. Jika 1 hektar lahan petani menghasilkan 1 ton tembakau kering maka ada sekitar 6 ribu hektar lahan tembakau yang hilang tidak terserap. Artinya tidak sedikit petani tembakau yang akan kehilangan mata pencariannya. Sementara sampai dengan saat ini harga tembakau lebih tinggi dibandingkan harga komoditas lain di musim kemarau,” ungkap Soeseno.
Soeseno juga menyampaikan, “Setiap daerah memiliki karakter lahan yang berbeda-beda. Sehingga petani tembakau tidak dapat dipaksakan untuk mengganti tanaman tembakau mereka dengan tanaman lainnya karena belum tentu kesejahteraan petani meningkat atau tetap stabil.”
Disamping mengancam ketersediaan mata pencaharian petani, kampanye penggiat anti rokok ini juga berpotensi besar menggerus pendapatan pemerintahan. “Bayangkan saja, kalau dihitung secara ekonomisnya dari 6 miliyar batang rokok akan menghasilkan sekitar Rp 6 triliun. Dari angka tersebut sebanyak Rp 4 triliunnya masuk ke negara melalui cukai dan Pajak Rokok. Jadi kalau kampanye rokok terus digaungkan maka pemerintah akan kehilangan pendapatannya kurang lebih sebesar Rp 4 tiliun per tahun,” tambah Soeseno.
“Harapan petani itu simple. Dengan harga rokok berapa pun, tembakau petani bisa diserap dengan harga tinggi atau minimal diatas biaya produksi. Karena harga rokok mahal apakah hasilnya mengalir ke petani? Belum tentu juga mengalir ke petani. Ini karena, dana bagi hasil cukai dan hasil tembakau (DBHCHT) yang dihasilkan dari produk tembakau tidak sepenuhnya dapat dinikmati oleh petani tembakau.” keluh Soeseno.
Sementara itu, menurut Budidoyo, Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menambahan, “Masifnya kampanye anti rokok oleh beberapa kelompok anti tembakau sangat berdampak kepada stakeholder tembakau salah satunya sangat dirasakan oleh petani tembakau. Padahal seharusnya kita bisa saling menghormati. Tidak perlu ada kampanye yang menyuarakan bahwa rokok merupakan produk yang harus dikucilkan”.
Budidoyo berharap adanya perhatian baik dari Pemerintah Pusat maupun Daerah dalam menyusun peraturan dan kebijakan terkait produk hasil tembakau yang adil dan berimbang karena Industri Hasil Tembakau (IHT) masih menjadi penopang perekonomian negara dan belum ada industri lain yang mampu menggantikan peran IHT dalam penerimaan negara.***