SAAT era Hindia Belanda, di Kudus telah muncul pengusaha rokok, orang pribumi bernama Nitisemito, mengusung merek Bal Tiga.
Nitisemito lahir pada 1863, wafat pada 7 Maret 1953 dan dimakamkan di Krapyak, Kudus. “Sebelum perang (PD II), almarhum dikenal di seluruh Indonesia sebagai Raja Rokok Kretek,” tulis koran De Locomotief (9 Maret 1953).
Nitisemito disebut oleh Bung Karno sebagai orang kaya Indonesia dalam pidato di sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Ia memiliki pabrik kretek terbesar dengan pembayaran pajak 160 ribu hingga 350 ribu gulden.
Ia juga menyewa pesawat Fokker F-200 seharga 150-250 ribu gulden untuk menyebarkan selebaran rokok Tjap Bal Tiga hingga ke Jawa Barat-Jakarta dan radio Vereniging Koedoes (RVK) untuk mempromosikan produk rokoknya, serta gedung bioskop.
Pabrik rokok Tjap Bal Tiga juga membentuk tim sepakbola, grup tonil sandiwara, dan membagikan survenir berupa gerabah keramik dari Jepang sebagai alat promosinya.
Dalam buku Seribu Tahun Nusantara (2000), oleh cucu-cucunya, Niti disebut sebagai pencetus ide kewirausahaan untuk menjadikan kretek sebagai komoditas industri.
Nitisemito lahir dengan nama Roesdi. Ayah Roesdi adalah Haji Soelaiman seorang lurah di Desa Janggalan, Kudus. Ibu Rusdi bernama Markanah. Rusdi tidak bersekolah, dan tidak berniat menjadi lurah sebagaimana ayahnya. Ia memilih menjadi pengusaha dan menyandang nama Jawa yaitu Nitisemito.
Perubahan namanya dari Roesdi menjadi Nitisemito dilakukan pada usia 17 tahun. Versi lain menyebutkan Roesdi berganti nama menjadi Nitisemito setelah menikah dengan perempuan bernama Nasilah asal Singocandi.
Nitisemito kecil digambarkan sebagai anak pemberani dan menolak permintaan ayahnya untuk bersekolah. Ia lebih memilih menjadi pedagang ketimbang mengikuti jejak ayahnya sebagai lurah.
Pada umur 17 tahun, dia memutuskan untuk merantau ke Malang, Jawa Timur, sebagai buruh jahit dan sukses menjadi pengusaha konveksi. Meski sukses menjadi pengusaha konveksi, Nitisemito saat itu merasa persaingan bisnis konveksi sangat tinggi, sehingga dia memutuskan untuk kembali ke Kudus.
Kembali ke Kudus, Nitisemito sempat menekuni bisnis minyak kelapa dan berdagang kerbau, namun gagal dan dia banting setir menjadi pengusaha dokar.
Selain menjadi kusir, Nitisemito juga menyewakan beberapa dokarnya dan membuka warung untuk berjualan batik Solo, kopi dan tembakau, di pangkalan dokarnya.
Dari hasil pernikahannya dengan Nasilah, Nitisemito memiliki tiga anak perempuan, yakni Hasanah (meninggal saat kecil), Nahari dan Nafiah.
Ia bersama istrinya, Nasilah, kemudian sukses mengembangkan usaha bisnis lintingan tembakau dan cengkih. Karena menginginkan anak laki-laki, Nitisemito kemudian kembali menikah dengan Sawirah dan memiliki seorang anak bernama Soemadji.
Setelah dewasa, Soemardji menikahi Siti Chasinah, anak perempuan dari pengusaha kretek terbesar kedua asal Kudus bernama H. Muslich, pada tahun 1935. Nitisemito juga disebut memiliki dua istri lain yakni Ngalimah di Salatiga dan Rebi Tijem di Purwodadi.
Anak perempuannya, Nahari Nitisemito menikahi Markoem dan memiliki seorang putra bernama Akhwan. Setelah suaminya meninggal, Nahari kembali menikah dengan Oemar Said.
Sementara itu, Nafiah Nitisemito menikah dengan M. Karmain, orang kepercayaan Nitisemito dan memiliki hubungan keluarga dengan H Jamhari, orang pertama yang disebut-sebut mencampurkan kretek dengan tembakau hingga melahirkan rokok kretek.
Pada 1910 Nitisemito secara kecil-kecilan membuat rokok yang ia kerjakan sendiri. Masa kejayaannya baru ia nikmati antara tahun 1922 hingga 1940.
Dalam menjalankan bisnisnya, pada 1934 ia mempekerjakan 10 ribu buruh. Sebelumnya, ia hanya menitipkan pengerjaan itu ke sejumlah pengrajin di kampung-kampung. Namun, karena kualitasnya kurang baik, maka ia pun membangun pabrik di daerah Jati, Kudus.
Pada masa jayanya, produksi rata-rata setiap hari pabrik kretek Nitisemito mencapai 8 juta batang. Rokok Bal Tiga dipasarkan Nitisemito dengan biaya yang tak sedikit.
Ia menjalankan perusahaannya secara modern. Setidaknya sistem pembukuan dan administrasinya seperti perusahaan-perusahaan orang Eropa. Tahun 1936, perusahaan Nitisemito dikunjungi oleh Sri Susuhunan Pakubuwana X dari Kesunanan Surakarta.
Selain merek Bal Tiga milik Nitisemito, industri kretek Kudus juga memproduksi merek Gunung Kedu, Tebu & Cengkeh, Trio, dan Tiga Kaki. Para juragan rokok lainnya adalah M. Nadiroen, Haji Muslich, Haji Ma’roef, dan Haji Nawawi—yang memelopori penggunaan mesin untuk memproduksi kretek.
Setelah kunjungan Pakubuwana X, pajak yang dibebankan kepada perusahaannya bertambah hingga 350 ribu gulden.
Perusahaan Nitisemito pernah dituduh menggelapkan pajak sebesar 160 ribu gulden. DI koran Nieuwsblad voor Sumatra (27/11/1939), perusahaannya berhutang pajak 75 ribu Gulden. Nitisemito harus mencicil pajak yang konon digelapkan itu sampai lunas.
Nitisemito menjadikan Kasmani, karyawannya yang berbakat, sebagai menantunya. Kasmani yang dinikahkan dengan putri keduanya itu dijadikan manajer pabrik. Nama Kasmani dicantumkan bersama nama Nitisemito dalam bungkus rokok Bal Tiga.
Namun, Kasmani tidak pernah menggantikan Nitisemito. Kasmani meninggal lebih dulu daripada mertuanya karena sakit setelah dituduh menggelapkan pajak dalam sebuah pengadilan.
Ketika Perang Pasifik, bisnis Nitisemito merosot. Ia tetap berjualan kretek sambil menyewakan sejumlah rumah.
Setelah Jepang kalah, pabriknya mulai berjalan lagi, lalu Belanda melancarkan Agresi Militer I pada pertengahan 1947.
Setelah Belanda kalah, produksinya kala itu tidak bisa banyak karena cengkeh langka. Bisnisnya semakin mundur dan kretek Bal Tiga semakin sulit bersaing di pasaran. Di Kudus mulai muncul Nojorono dan Djarum.
Nitisemito dikenal dekat tokoh-tokoh pergerakan Kemerdekaan Indonesia, seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Serikat Islam dan Muhammadiyah.
Ia menjadi donatur bagi kaum pergerakan nasional, Nitisemito juga menyediakan villanya di Salatiga sebagai tempat pertemuan rahasia dengan Bung Karno maupun para pejuang kemerdekaan lainnya.
Ketika terjadi Agresi Militer Belanda (1947-1949), Nitisemito meminta putranya, Soemadji untuk menjadikan rumahnya dan membuat dapur umur sebagai tempat penampungan Komandan Batalyon 423, Mayor Basuno beserta istri dan para pembantu dekatnya. (Sumber: Okezone/Doddy Handoko)