Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai aturan penerapan kemasan polos (plain packaging) pada produk tembakau, yakni rokok, akan memicu masuknya produk ilegal, karena tidak adanya kemasan pembeda yang memudahkan konsumen mengenali merk produk rokok tertentu.
Subdirektorat Program Pengembangan Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Mogadishu Ertanto menjelaskan kebijakan kemasan polos pada rokok yang telah diterapkan di beberapa negara mengharuskan produsen untuk menghapuskan merk dagang, logo, warna dan hanya dapat mencantumkan merk dalam ukuran standar.
“Contohnya Australia yang telah menerapkan kebijakan ini. Implikasinya adalah masuknya produk tembakau ilegal. Tingkat konsumsi tembakau ilegal telah berkembang sejak kebijakan ini diterapkan mencapai 13,9 persen,” kata Ertanto di Jakarta, Kamis.
Ertanto menjelaskan aturan kemasan polos di berbagai negara, seperti Prancis, Inggris dan Australia, ini diterapkan pada produk konsumsi yang dianggap memiliki risiko kesehatan.
Namun, berdasarkan hasil studi yang dipertimbangkan oleh Kementerian Kesehatan, kemasan polos pada rokok nyatanya dinilai tidak mengubah perilaku merokok, sehingga tidak berpengaruh pada pengurangan konsumsi.
Menurut dia, aturan ini justru menimbulkan masalah baru karena konsumen yang semula sudah paham akan kualitas sebuah produk rokok tertentu akan kesulitan. Dalam aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sendiri, pemerintah tidak boleh menerapkan peraturan yang tidak perlu (unnecessary regulation).
Terkait branding, intinya Kementerian Perindustrian akan sangat hati-hati menerapkan regulasi, baik di sektor hulu maupun hilir,” kata Ertanto.
Dalam kesempatan sama, Business Development Director Indonesian Packaging Federation, Ariana Susanti, menilai perubahan kemasan menjadi polos tidak lantas menjamin perlindungan konsumen.
Peraturan tentang pembatasan merek (branding) dan kemasan polos (plain packaging) yang terjadi di negara-negara dunia pada dasarnya sudah mulai terjadi di Indonesia sejak tahun 2014.
Namun, gaung aturan ini belum dirasakan oleh banyak pihak karena kebijakan ini menyasar khusus produk tembakau. Namun, pada awal tahun 2019, semakin banyak negara lain yang mengumumkan untuk mulai memperlebar cakupan kebijakan mereka ke produk konsumsi yang dianggap memiliki risiko kesehatan, termasuk Indonesia.
Dari sisi konsumen, minimnya identitas dan informasi akan membatasi kebebasan mereka memilih produk yang mereka inginkan dan peluang masuknya barang-barang palsu atau ilegal akan makin terbuka lebar.
“Sementara itu, dari sisi pelaku bisnis aturan ini berpotensi membatasi kreativitas dan inovasi perusahaan dalam rangka menjaga kelangsungan identitas brand atau produknya,” kata Ariana.***
Sumber: Antara