TAHAR, mengeluarkan plastik hitam dari gulungan sarungnya. Dari dalamnya, ia mengelurkan tembakau rajang yang berwarna kuning keemasan seukuran kepalan tangan. Lekas, jemarinya mengambil sejumput kemudian menggulungnya dalam balutan kertas rokok warna putih.
Dalam hitungan detik, jadilah sebatang rokok. Tahar pun kemudian mengambil korek dan membakar salah satu ujung nya. Lintingan dihisap, ditiupkan ke udara. Asap putih segera mengepul menyisakan wangi tembakau kasturi yang khas.
“Kalau yang saya hisap ini, kualitas sedang. Tahun ini banyak petani yang tidak bisa mendapatkan kualitas super. Karena ketemu hujan,” ungkapnya.
Tahar adalah satu dari sekian banyak petani tembakau yang ada di Dusun Senang Desa Batuyang Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sebagian besar petani di dusun ini menanam tembakau. Meski sebagian ada yang menanam tanaman pangan.
”Yang nanam tembakau hanya yang punya sawah di bagian atas. Kalau yang bagian bawah nggak bisa. Karena tembakau ini tidak bisa dikasih air embung,” jelas Tahar.
Lebih lanjut, Tahar menerangkan kalau khusus untuk tembakau Senang, tidak boleh terlalu banyak air. Karena, semakin banyak air, aroma tembakau rajang akan semakin berkurang. Padahal Tembakau Senang sejak lama kesohor dengan aromanya. Selain itu, rahasia lain dari ke khasan rasa Tembakau Senang adalah pada pengaturan pupuknya. Konon rasa terbaik justru dihasilkan dari pembatasan pupuk kimia.
“Kalau dikasih pupuk memang bagus daunnya. Tapi aromanya yang hilang,” cetusnya.
Dari awal tanam Tembakau Senang membutuhkan waktu sekitar tiga bulan agar bisa dipanen. Dalam kurun waktu tersebut, pengaturan air dan pupuk terus dijaga untuk menghasilkan kualitas terbaik.
Pertumbuhan pucuk juga dibatasi. Ini untuk menjaga kualitas daun yang dihasilkan . Setidaknya setiap batang tembakau maksimal 25 helai daun. Kelak, daun-daun tembakau akan dipetik bertahap. Letak daun pada batang juga menentukan baik tidaknya kualitas.
“Untuk daun bawah pertama dan kedua harus dipetik terlebih dahulu. Itu nanti harganya murah memang. Tapi segera harus dipetik agar tidak merusak rasa daun berikutnya,” ucapnya.
Proses pascapanen tidak kalah rumitnya. Sebelum bisa dirajang daun-daun dipisahkan berdasarkan (grade) kualitas. Dari ladang daun tembakau didiamkan sekitar tiga malam. Kemudian ditata dalam susunan tertentu sebelum masuk tahap perajangan.
“Misal Kamis dipetik, Sabtu diperut, itu kita pisah daun dan tulang daun. Baru malam minggu dirajang. Bisa juga paginya langsung kalau jumlahnya nggak banyak,” paparnya.
Perajang ini sendiri masih menggunakan cara sederhana. Daun disusun dan dihadapkan pada bilah pisau tajam yang akan mengirisnya tipis seperti mie. Setalah dirajang, tembakau dijemur dengan sempurna untuk mengurangi kadar air. Penjemuran ini juga sangat menentukan baik tidaknya rasa tembakau. Proses pengeringan yang baik akan nampak pada warna tembakau rajang kuning keemasan. Sebaliknya, jika tidak terproses kurang sempurna, tembakau akan berwarna kemerahan.
“Kalau kualitas yang super itu. Biasa langsung diambil sama saudagar Masbagik. Bahkan banyak juga pembeli yang datang jauh-jauh dari Surabaya bahkan Malaysia ke sini,” ujar Tahar.
Tembakau-tembakau Senang terbaik memang sulit didapat apalagi di musim kemarau basah seperti kemarin. Jafar, salah salah seorang konsumen tembakau asal Ampenan mengakui musim ini sangat sulit mendapat tembakau kualitas super. Jikapun ada banyak tersedia kualitas menengah namun harganya relatif tinggi.
“Kemarin saya dapat satu tumpi yang biasa harganya Rp 300 ribu,” ujarnya.
Bahkan beberapa pekan lalu ia khusus memesan dari salah seorang pedagang di Masbagik untuk dikirim ke Jakarta. Hanya saja ia belum mendapatkan Senang kualitas Super.
“Ya memang musim ini agak sulit,” pungkasnya.**
Sumber: Lombok Post