Wangi kemenyan yang mencapai dataran Asia, Timur Tengah hingga Eropa pada abad ke-5, kini tinggal kenangan.
Dia semakin digerus oleh tanaman produksi hingga menjajah ke hutan adat Batak Toba. Seekor ular berwarna hijau melintas di bawah pohon Styrax sumatrana muda saat empat lelaki adat melintasi hutan Simataniari, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Tak ada rasa takut yang menghinggap raut wajah keempatnya. Seorang diantaranya malah mengambil ranting pohon dan mengelus-elus bagian kepala ular itu.
Sejenak kemudian, ular itu pun berlalu di antara semak belukar. Seolah mengerti kedatangan keempatnya tak untuk mengganggunya, melainkan ingin menjaga habitat hidupnya.
Pagi itu, ayam baru saja berkokok. Kicau burung dan gemercik air sungai ikut memeriahkan suasana. Selintas tadi, keempat lelaki itu berpapasan dengan beberapa kepala keluarga lain yang baru saja pulang dari hutan.
“Mereka baru keluar dari hutan menyadap getah kemenyan,” kata Gabriel Lumban Gaol, satu dari empat warga masyarakat adat.
Menyadap getah kemenyan menjadi mata pencarian andalan masyarakat adat, sebelum abad ke-5 masehi. Kegiatan ini bahkan mereka lakukan sebelum mengenal teknik berkebun dan bertani. Kemasyuran aroma terapi alami ini bahkan telah terkenal hingga ke Timur Tengah, Eropa, dan China.
“Dulu Pelabuhan Barus sangat ramai. Kemenyan-kemenyan dari sini dikirim ke negara-negara tujuan lewat pelabuhan itu,: kata salah satu tokoh adat, Sitanggang.
Manfaat dari wewangian berbentuk kristal ini pun sangat beragam. Bagi habitatnya, satu pohon kemenyan diyakini mampu melindungi dan menutupi 10 pohon alam dari cahaya matahari berlebih. Serapan air bawah tanah juga tak rusak. Mereka saling berbagi.
“Jika satu kemenyan hancur, 10 pohon alam akan mati. Begitu sebaliknya,” kata Royani Sitanggang, warga masyarakat adat lainnya.
Dalam industri farmasi, si Olibanum ini disebut-sebut bermanfaat sebagai ekspektoran pada obat batuk, disinfektan untuk luka, dan obat mata pada penyakit katarak. Belakangan, khasiatnya sedang diteliti untuk penyembuhan penyakit-penyakit berat dan mematikan seperti kanker.
Bau wangi yang menguar dari kristal yang diolah dan diperoleh dari pohon jenis Boswellia ini juga digunakan untuk bahan baku parfum karena memiliki sifat fiksatif untuk mengikat minyak atsiri agar tidak cepat menguap.
Banyaknya manfaat yang dimiliki keluarga Burseraceae ini membuat harganya berbanding lurus dengan harga emas. Tak heran, masyarakat setempat banyak yang menggantungkan hidup pada produksi kemenyan.
Kejayaan kemenyan ikut tergerus zaman. Harganya terus merosot, sekitar Rp 120 ribu per kilogram untuk kemenyan putih kualitas terbaik.
Selain itu, produktivitas ekspor pun terus melorot. Pada tahun 60-an, ekspor kristal yang dihasilkan dari getah ini bisa mencapai 10 ton.
“Tapi kini para eksportir hanya mampu memenuhi kebutuhan 5 ton kemenyan, itupun dicampur dengan damar,” kata seorang saudagar kemenyan, Arifin Sihite.
Keberadaan hutan kemenyan milik masyarakat pun terus menyusut, terdesak aliih fungsi lahan untuk tanaman industri kertas. Luas hutan kemenyan di Sumatera Utara yang masih produktif kini tersisa 15 ribu hektar.
Tak jauh dari hutan adat ini, misalnya, ribuan pohon eukaliptus mulai ditanam. Tanaman yang ditanam perusahaan swasta atas izin Kementerian Kehutanan itu menjadi momok yang siap menjajah keberadaan pohon endemik ini.
Izin itu memberikan hak pembabatan hutan seluas 188.000 hektar. Areal seluas itu meliputi 11 kabupaten, termasuk wilayah hutan adat Simataniari. Khusus wilayah adat Simataniari, areal hutan yang dilibas mencapai 40 ribu hektare, berdasarkan data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Tano Batak.
“Hutan mulai terbabat perusahaan melalui para kontraktornya,” kata Ketua Badan Pengurus Harian lembaga swadaya tersebut, Roganda Simanjuntak.
Upaya perlawanan yang mereka lakukan melalui jalur hukum pun tak membuahkan hasil. Karena itu, mereka terus berjaga. Membuat barikade dan jadwal piket jaga bergantian. Mereka tak ingin hutan alam yang berisi beragam kekayaan termasuk kemenyan musnah.
“Pemerintah semestinya berpikir ulang buat memberi izin merusak dan menghancurkan hutan adat Simataniari,” kata Sitanggang.
Semakin menyusutnya luasan hutan membuat para petani yang selama ini meggantungkan hidup dari kemenyan, beralih ke pekerjaan lain secara serabutan, mulai buruh tani di desa tetangga, tukang pikul sejumlah pabrik, hingga merantau ke kota.
“Kerusakan hutan adat Batak Simataniare sudah 2.000-an hektar. Terus bertambah setiap hari, karena perusahaan terus menebang hutan. “Selain merusak hutan, ini juga merusak sejarah.”
Sumber: Zamrud Khatulistiwa