Lombok, mempunyai beragam objek wisata. Sebagimana Bali, Lombok juga memiliki banyak pantai yang indah dan Gunung Rinjani yang elok. Di Lombok juga kita dapat mengunjungi berbagai pura, tempat beribadah umat Hindu. Bahkan, di Lombok ada satu pura yang sangat berbeda dengan pura-pura di Bali. Bedanya bukan dalam bentuk, tapi nilai-nilai toleransi antar umat beragama, Pura Lingsar namanya.
Pura yang sekitar 15 km dari pusat Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat itu dibangun pada masa jayanya kerajaan Karangasem Sasak sekitar tahun 1759. Pura ini dibangun oleh Anak Agung Ngurah yang memerintah Lombok bagian barat saat itu.
“Di kawasan pura itu terdapat empat bangunan pokok, yaitu Pura Gaduh, Kemaliq, Pesiraman dan pesimpangan Bhatara Bagus Balian, serta Lingsar Wulon,” kata Sahyan, warga Lingsar.
Ketiga bangunan yang bernama Gaduh, Kemaliq dan Bhatara Bagus Balian hanya dibatasi dengan tembok. Saat pujawali berlangsung, upacara dilaksanakan secara serentak. Pujawali adalah upacara pemujaan kelahiran Ida Bhatara yang dilakukan umat Hindu di pura itu.
Selain digunakan umat Hindu untuk beribadah, Suku Sasak yang menganut Islam juga menggunakan Kemaliq yang berada di dalam area pura sebagai tempat ibadah juga. Bahkan secara rutin diadakan doa bersama dari berbagai pemeluk agama yang ada di Lombok.
Untuk menjaga kedamaian, di sekitar tempat itu dilarang memakan atau menyembelih binatang-binatang yang dianggap suci oleh masing-masing agama. Bahkan dalam radius 2 km dari Pura Lingsar, sapi yang dianggap suci oleh umat hindu dilarang berkeliaran.
Ketika masuk ke dalam kawasan, pengunjung disarankan untuk memakai selendang yang diikatkan pada pinggang. “Selandang ini dipakai untuk menghormati tempat ini yang dianggap suci oleh uimat Hindu dan Islam,” kata Subhan, warga Mataram yang menemani saya ke Lingsar.
Setelah mengenakan selendang kain berwarna kuning, saya memasuki tempat berdoa yang dianggap suci oleh semua pemeluk agama. “Di tempat ini orang Hindu, Islam, Kristen, bahkan pemeluk aliran kepercayaan percaya doanya dapat dikabulkan,” Kata Sahyan.
Di samping tempat berdoa itu ada sebuah kolam kecil. Airnya jernih dan tidak pernah kering. Bahkan kedalaman kolam itu selalu tetap setiap saat.
Di kolam itu terdapat ikan tuna besar yang panjangnya mencapai satu meter. Jika pengunjung dapat melihat ikan tuna itu, warga Lingsar yakin bahwa orang yang melihat itu akan mendapat keberuntungan.
Pengunjung kolam itu akan berusaha memacing agar ikan tuna itu muncul. “Caranya dengan mengumpankan telur ayam,” imbuh Subhan.
Dalam kunjungan saya ke sana, saya sempat melihat ikan tuna itu tanpa memancingnya dengan telur. Wati, warga sekitar Pura Lingsar yang tengah beribadah mengatakan bahwa saya tengah beruntung. “Biasanya orang akan berupaya memancing ikan itu agar nampak, Anda sangat beruntung,” katanya.
Saat saya berkunjung ke sana masih pagi. Baru saya saja yang datang kesana selain warga sekitar dan pengurus yang tengah berdoa.
Di kolam itu juga, ada ritual melempar uang logam ke kolam sambil membalikan badan. Sambil melempar uang logam, mereka memanjatkan keinginannya. “Biasanya mereka ingin dagangnya laris, pertaniannya subur, bahkan ada juga yang ini memperoleh jabatan,” kata Sahyan.
Konon, tempat itu dibangun sebagai lambang persatuan. Karena itulah, tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah dalam komplek pura yang luas itu. Umat Hindu dan Suku sasak yang beragama Islam secara rukun merawat pura itu secara bersama-sama.
Siapa saja yang mempercayai dan ingin ”berhubungan” dengan Tuhan di tempat itu, tak pernah dipermasalahkan, sepanjang mentaati aturan di pura tersebut. Karena itulah, Pura Lingsar perwujudan sikap toleran dari penduduk yang beragam suku, agama dan ras, dan sekaligus menjadi simbol pemersatu umat di Pulau Lombok.
Simbol toleransi, juga dilambangkan dengan aturan tak tertulis, bahwa siapa saja yang datang ke tempat suci itu, tak diperkenankan menghaturkan sesaji dari babi dan sapi. Babi haram bagi umat Isalam, dan sapi dianggap suci oleh umat Hindu.
Salahsatu upacara di Pura Lingsar yang dilakukan bersama oleh umat Hindu dan Suku Sasak yang beraga Islam adalah Pujawali. Sekitar bulan Desember, upacara pujawali diselenggarakan.
Pujawali, di berbagai tempat lain pelaksanaannya dilakukan sepenuhnya oleh umat Hindu. Namun khusus di Pura Lingsar, upacara pujawali dirangkai dengan tradisi perang topat. Sebuah tradisi yang pelaksanaannya didominasi masyarakat suku Sasak–penduduk asli Lombok, bersama masyarakat dari suku Bali yang telah turun temurun bermukim di Lombok.
Sebagaimana perang, peserta pun tampak seperti layaknya berperang. Namun, bukan saling pukul atau saling tusuk. Yang menjadi ”peluru”, juga bukan peluru asli atau pun batu, melainkan ketupat yang sebelumnya menjadi sarana upacara. Ketupat dilemparkan-lemparkan kepada siapa saja. Tak ada yang cedera.
Dengan penuh kegembiraan, peserta upacara terlibat dalam ”peperangan” yang berlangsung beberapa menit itu. Seusai berperang, ketupat yang dijadikan peluru lalu dipungut kembali oleh peserta untuk dibawa pulang. “Ketupat ini diyakini sebagai berkah dan ditebar di sawah-sawah penduduk karena dipercaya dapat menyuburkan tanaman padi,” kata Bu Rawinah.
Lempar-lemparan ketupat itu ditingkahi bunyi kul-kul (kentongan) selama sekitar satu jam. Ketupat itu diperebutkan. “Yang belum dilemparkan tak boleh dibawa pulang. Kendati ketupat itu sudah penyok, tetap dipunguti orang,” jelas Sahyan.
Perang topat bertujuan untuk mendapatkan berkah dan keselamatan, terutama bagi petani anggota Subak—sistem irigasi pertanian. “Perang ketupat juga merupakan ungkapan rasa syukur, menandai saat dimulainya menggarap sawah,” kata Subhan.
Sebagai tempat wisata, Pura Lingsar cukup menarik. Dengan jarak tempuh dari Kota Mataram kurang dari setengah jam, kita bisa mengunjungi tempart wisata lainnya di sekitar itu. Naik ke atas Gunung Rinjani menanti, kita dapat mengunjungi Hutanb wisata Sesaot dan Suranadi. Jika turun ke selatan kita dapat mengunjungi Pantai Kuta yang tak kalah indahnya dengan Pantai Kuta di Bali.***