Di masyarakat Sunda, Jawa Barat, terdapat sebuah tradisi ngadu bako yang secara harfiah bisa diartikan mengadu tembakau. Ngadu bako bisa dilihat secara sosiologis maupun budaya, artinya tak sekadar merokok, tetapi ada kaitannya dengan demokrasi.
Budayawan yang juga dosen Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, Hawe Setiawan menjelaskan, ngadu bako berasal dari kata “beradu” yang bisa diartikan pula “sharing”. Bako sendiri berarti tembako.
“Jadi ngadu bako sambil udud, ngelepus, merokok, menghisap kretek atau cangklong,” jelasnya, dalam sebuah diskusi di Bandung, beberapa waktu lalu.
Tapi Hawe mencatat ada pengertian konotatif yang lebih penting dari istilah ngadu bako. Sebab ngadu bako juga berarti terjadinya perbincangan di antara partisipan pertemuan. Perbincangan tersebut tak harus selalu perbincangan kayak orang sekolahan yang konseptual dan canggih, tapi perbincangan sehari-hari saja yang bersifat non-formal.
Dari konotasi tersebut, kata Hawe, maka ngadu bako bisa diartikan sebagai perbincangan publik. Menurutnya, perbincangan publik menjadi unsur penting di negara demokrasi. Namun unsur itu dinilai terancam hilang jika sistem demokrasi tak mau mendengar perbincangan publik.
Perbincangan publik harus didengar dan diakomodir dalam sistem demokrasi, yaitu masuk menjadi kebijakan-kebijakan politik pemerintah.
“Dalam arti dihargainya perbincangan publik sebagai bahan pertimbangan tersendiri bagi bahan pertimbangan keputusan politik,” terang pria yang hobi bersepeda itu.
Sementara dalam praktiknya, tradisi ngadu bako di masyarakat Sunda sudah berlangsung lama. Hawe mengaku mulai belajar merokok sebelum SMP. Awalnya ia belajar membikin lintingan daun kawung belajar dari kakeknya.
Awalnya daun kawung dilinting tanpa tembakau, berikutnya memakai tembakau. Kemudian agak canggih sedikit, ia berganti melinting tembakau dengan kertas rokok yang disebut pahpir. Alat yang dipakai melinting rokok macam-macam, selain daun kawung dan pahpir juga ada kolobot.
Semua itu dibeli dari tukang tembakau khusus, salah satunya dari kakeknya perupa Tisna Sanjaya. “Belakangan seiring perkembanganmasyarakat, saya beralih ke kretek,” katanya.[Iman]