Berbicara soal kretek, artinya berbicara kesejahteraan banyak orang. ~Hendardi~
SEMARANG – Kretek menjadi produk warisan budaya Indonesia yang tidak dimiliki oleh negara lain. Namun keberadaan kretek di Indonesia kian tersingkir. Meski menjadi penyumbang pendapatan negara dengan angka ratusan triliun per-tahun, perlakuan terhadap kretek ini cenderung disudutkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah. Bahkan warisan budaya ini kerap dituding sebagai sumber berbahaya yang mematikan nyawa masyarakat.
Keprihatinan atas hal itulah, berdiri Lembaga Konsumen Rokok Indonesia (LKRI) yang diresmikan di Wisma Perdamaian (Wisper) Kota Semarang, Selasa (21/11/2017). Sebelum launching, digelar seminar dengan tema “Mencari Keadilan Bagi Konsumen Rokok”.
“Indonesia negara tahan banting. Salah satunya adalah peran kretek. Kretek adalah warisan budaya. Maka kretek itu sangat Indonesia. Berbicara soal kretek, artinya berbicara kesejahteraan banyak orang, karena telah memberi pemasukan luar biasa untuk negara,” kata salah satu narasumber Hendardi, aktivis Hak Azasi Manusia (HAM).
Dikatakannya, kretek dibangun dalam rentan sejarah panjang. Meski terjadi pasang surut dalam industri kretek, tetapi kretek ini terbukti mampu bertahan hingga sekarang. “Bahkan menjadi penyumbang pendapatan negara melalui cukai,” katanya.
Kretek Indonesia bukan komoditas ilegal dan bukan kejahatan. Tetapi justru memiliki implikasi luas terhadap segala hak usaha, kerja dan petani nasional. Tetapi dalam perkembangannya, kretek diserang oleh rezim ‘kesehatan’. “Di balik larangan dan tekanan terhadap kretek membuktikan pemerintah tak tegas, hanya mengikuti irama dunia,” kata Hendardi.
Ia menduga di balik larangan dan tekanan kretek ada kepentingan persaingan industri farmasi. “Maka lahirlah rezim berdalih kesehatan dunia yang anti rokok. Padahal merokok adalah hak konstitusional setiap warga negara,” katanya.
Ketua Lembaga Konsumen Rokok Indonesia (LKRI), Agus Condro Prayitno, menyatakan LKRI sengaja hadir untuk melakukan pembelaan terhadap perokok yang selama ini memiliki kontribusi terhadap negara. “Pemasukan negara dari cukai rokok mencapai Rp 135 triliun. Tapi ironis, perokok sebagai pembayar pajak yang taat justru mengalami deskriminasi dalam sejumlah kebijakan,” katanya.
Menurut dia, seorang perokok rata-rata mampu memberikan kontribusi negara hingga Rp 250 ribu per bulan, dengan hitungan saban hari mengonsumsi rokok satu bungkus seharga Rp 15 ribu. Cukai per bungkus Rp 8 ribu. “Total nilai cukai saat ini sudah mencapai 63 persen dari target akhir tahun 2017 Rp 138 triliun, bahkan tahun 2018 Kementerian Keuangan kembali menaikkan target Rp 148 triliun. Dengan fakta itu, LKRI mengajak para konsumen rokok sadar sebagai konsumen untuk memperjuangkan hak-hak sebagai pemberi masukan negara,” katanya.
LKRI berharap, pemasukan negara dari cukai, sebesar-besarnya untuk membantu rakyat sakit dan bantuan pendidikan untuk rakyat miskin, sesuai program Nawacita Presiden Joko Widodo. “Selain itu, kami akan menggugat kebijakan BPJS yang tidak mengcover konsumen rokok. Negara tak boleh melepas ikatan antara konsumen sebagai pembayar premi sebagai klien yang harus dibiayai,” kata Agus.
Sedangkan salah satu peserta seminar, dosen Fisip Undip, Turtiantoro, mengingatkan mengapa dari dulu orang barat berbondong-bondong ke Indonesia? Sebab Indonesia merupakan negara yang kaya rempah-rempah. “Karet Indonesia menjadi raja dunia, tebu, minyak kelapa, semua menjadi raja dunia. Tetapi akhirnya dihantam habis-habisan, diserang untuk digantikan komoditas dari barat. Begitupun tembakau atau kretek. Ini adalah perang dagang internasional, perang rokok putih dangan kretek, ujung-ujungnya Indonesia menjadi pasar komoditas rokok putih dari barat, dan hancurnya kretek sebagai warisan budaya,” tegasnya. (Ratna Dewi Amarawati)