Potret

Sejarah Panjang Pasar Tembakau Tanjungsari

Petani di Pasar Tembakau Tanjungsari, Jalan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang. Petani menjual tembakau kering dengan harga Rp 70 ribu hingga Rp 100 ribu per kilogram tergantung kualitas. [Djuli Pamungkas/Sindo]

Perkembangan Pasar Tembakau Tanjungsari atau yang lebih dikenal dengan nama Pasar Bako tidak lepas dari perjalanan panjang sejarah tembakau ketika mulai masuk ke Indonesia. Tembakau mulai masuk ke Indonesia melalui penjajah Belanda pada abad ke-19.

Sebelum jaman kemerdekaan di daerah Desa Mariuk Distrik Tanjungsari (sekarang bernama Desa Margaluyu Kecamatan Tanjungsari) ada pasar tembakau. Di pasar ini, tembakau diperjualbelikan menggunakan pikulan (oblok). Pasar ini dikenal dengan nama Pasar Bako Omprongan. Para pedagangnya datang dari daerah Cigasti, Cicalengka, Cijambu dan Majalaya.

Setelah Indonesia merdeka, terdapat organisasi kemasyarakatan yang bernama Gerakan Tani Indonesia (GTI) yang mempelopori pindahnya lokasi Pasar Bako ke daerah Lanjung Desa Tanjungsari yang dalam perjalannya berkembang ke arah Pasar Tembakau Jawa Barat yang pedagang dan pembelinya berasal dari berbagai daerah di Jawa Barat.

Pada tahun 1965 Pasar Bako pindah ke Tanjungsari yang berdekatan dengan Alun-alun Tanjungsari sampai dengan tahun 1986. Dan pada tahun 2002 melalui Keputusan Bupati Sumedang ditunjuk lokasi tetap Pasar Lelang Tembakau Jawa Barat.

Petani menyiapkan tembakau di Pasar Tembakau Tanjungsari, Jalan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang. [Djuli Pamungkas/Sindo] 

Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Sumedang dengan nomor 525.23/Kep.180-Huk/2002 itu, lokasi pasar ditetapkan di Jalan Pasar Lama Desa Tanjungsari Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang dengan luas kurang lebih 5.400 m2.

Dengan berpedoman pada Keputusan Bupati tersebut, di tahun yang sama dibangunlah pasar lelang tembakau yang menempati area seluas kurang lebih 2.700 m2. Di tempat ini dibangun bangunan kantor pengelola pasar, tempat lelang tembakau, los atau tempat penyimpanan tembakau, pos pengamanan (pos satpam), bangunan MCK dan lahan parkir.

Sisa lahan yang seluas kurang lebih 2.700 m2 lagi, pada Tahun 2006 kemudian dibangun kembali sebagai Sub Terminal Agrobisnis (STA) tembakau. Luas keseluruhan bangunan di STA tersebut mencapai 400 m2, yang terdiri dari bangunan gedung galeri dan pusat informasi seluas 225 m2 serta bangunan gedung laboratorium dan kantor seluas 175 m2.

Sebelum Tahun 2009 pengelolaan pasar lelang dan STA pernah berganti-ganti pengelola yaitu pernah di bawah pengelolaan Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan juga pernah di bawah pengelolaan Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Lembaga pengelolanyapun dulu bernama UPTD Pasar Tembakau.

Pada Tahun 2009 terbit Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang (Perda) Nomor: 8 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor: 2 Tahun 2010 tentang Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Sumedang. Perda tersebut salah satunya mengatur tentang pengelolaan pasar lelang tembakau dan STA tembakau yang diintegrasikan menjadi satu di bawah pengelolaan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Agribisnis Tembakau Tanjungsari pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumedang.

Perkembangan selanjutnya karena pengelolaan pasar lelang tembakau dan STA tembakau di bawah satu pengelolaan, penamaannya tidak lagi masing-masing tetapi disatukan menjadi Pusat Agrobisnis Tembakau (PAT) Tanjungsari.***

Sumber: Sumedang Tandang

Redaksi

About Author

You may also like

Potret

Dinas Perkebunan Jambi Lirik Potensi Tembakau Rakyat

Potensi komoditi perkebunan tembakau (tobacco) di Provinsi Jambi, terutama di tiga daerah penghasil, seperti Kabupaten Merangin, Kota Sungai Penuh, dan
Potret Tradisi

Jejak Yap Kay Tjay, Pemburu Tembakau Asal Tiongkok

Ratusan tahun, penjelajah dari berbagai negara Eropa, Tiongkok, Jepang, Timur Tengah dan lain-lain berebut masuk di daratan nusantara. Mereka tertarik