Berbagai organisasi antitembakau yang mendorong upaya revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan dinilai tak memberikan solusi.
Selaras dengan hal itu, sejumlah lembaga swadaya masyarakat penerima bantuan dana dari Bloomberg Initiatives yang notabene terkait dengan industri farmasi global dianggap tak pernah memperhatikan nasib para petani dan pelaku usaha kecil yang terlibat dalam rantai pasokan industri hasil tembakau (IHT).
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Jakarta Trubus Rahardiansyah mengatakan dorongan larangan total iklan dan promosi rokok yang menjadi bagian revisi PP 109/2012 akan memukul semua lini IHT, termasuk para petani, padahal jumlah petani tembakau di Indonesia sangat banyak.
“Mereka ini tidak punya solusi. Pokoknya dilarang, tetapi solusi bagi petani tembakau dan buruh rokok tidak ada,” paparnya melalui keterangan tertulis pada Kamis 28 April 2021.
Menurut dia, petani tembakau selama ini menjadi korban dari polemik mengenai IHT di tingkat elit. Padahal, aktivitas pertanian mereka sudah dilakukan secara turun-temurun. Petani tembakau, kata Trubus, tidak dapat serta-merta beralih profesi ke pekerjaan lain yang bukan keahliannya.
Selama ini, IHT merupakan salah satu sektor yang diatur dengan kebijakan yang sangat ketat. Beberapa di antaranya bahkan cenderung memukul. Di luar PP 109/2012, beberapa aturan yang cenderung melemahkan antara lain kenaikan tarif cukai tahunan dan pemberlakuan kawasan tanpa rokok (KTR) di sejumlah daerah. “Itu semua aturan yang membunuh IHT,” ujar Trubus.
Dia menilai pemerintah akan berhitung sangat keras saat mewacanakan revisi PP 109/2012. Setidaknya ada beberapa alasan yang membuat revisi PP 109/2012 tidak relevan dilakukan. Pertama, pemerintah sedang memiliki fokus yang lebih penting, yakni penanganan pandemi Covid-19 yang sampai saat ini belum berakhir.
“Fokus ke pandemi dulu yang masih tinggi dibandingkan dengan revisi PP 109/2012, yang sekarang hanya mengundang pro-kontra, sehingga tidak menjadi bumerang,” kata Trubus.
Kedua, pemerintah sedang mendorong investasi dan masuknya modal untuk mendongkrak ekonomi yang porak poranda. Pemerintah juga sangat memahami bahwa investasi di sektor IHT sangatlah besar, sehingga goncangan terhadap industri ini akan memantik instabilitas ekonomi dan pengangguran.
Revisi PP 109/2012 juga bertentangan dengan semangat investasi yang digaungkan seiring dengan terbitnya Undang Undang Cipta Kerja. Dia mengemukakan kerangka regulasi menjadi faktor kunci dalam menciptakan iklim usaha yang positif.
Peraturan pusat daerah yang harmonis dan proses penyusunan kebijakan yang transparan dapat dikatakan absen selama wacana revisi PP 109/2012 digadang-gadang. Padahal, proses pembuatan kebijakan yang partisipatif dapat membuka peluang investasi di Indonesia. Ketiga, adalah terkait dengan kebijakan keuangan negara.
Selama ini, IHT telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam penguatan anggaran negara. Industri ini, kata Trubus, pernah berkontribusi lebih dari 60 persen terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Revisi justru memicu maraknya rokok ilegal yang sama sekali tidak berkontribusi terhadap APBN. Trubus menambahkan IHT perlu diberikan kesempatan bertahan dengan cara memperbaiki tata kelola agar tak menghasilkan produk yang merugikan.
Hal ini juga pastinya memerlukan kontribusi semua pihak untuk turut mengendalikan dampak secara seimbang sehingga pengawasan memegang peran penting dalam implementasi kebijakan.
“Penelitian banyak ditunggangi dan dibiayai mereka yang antirokok. Harusnya pemerintah turun tangan membuat aturan dan kebijakan yang proporsional, jangan sampai banyak rokok ilegal dimana negara tidak mendapat pemasukan,” kata Trubus.
Sebagai catatan, sejak 2006 Bloomberg telah menggelontorkan dana hampir US$1 miliar untuk membiayai kampanye antitembakau di dunia. (Sumber: Bisnis.com)