Tembakau dikatakan sebagai emas hijau. Namun, para petaninya tak bisa menentukan harga sendiri. Bahkan selalu dibayangi kecemasan rugi. Biaya produksi tak sebanding dengan hasilnya.
Pada 2020 lalu, wajah muram para petani Tembakau di Temanggung jamak disaksikan. Pasalnya, kala itu adalah tahun terparah harga tembakau anjlok. Selain cuaca buruk yang mempengaruhi kualitas tembakau, juga diperparah dengan pandemi yang masih berlangsung.
Namun Singgih Purwanto petani tembakau dari Dusun Karanganyar, Pagersari, Kecamatan Tlogomulyo optimistis tahun ini kualitas tembakau akan bagus. “Sekarang ini kayaknya bagus, kalau lihat cuacanya mendukung,” katanya saat ditemui di lahan garapannya di lereng Gunung Sumbing, Sabtu, 9 Mei 2021.
Meski begitu, petani tidak otomatis bisa menentukan harga sendiri hanya karena kualitas tembakaunya bagus. Karena untuk bisa sampai ke gudang pabrik, harus melalui tengkulak. Di sinilah biasanya terjadi tawar menawar harga.
“Kalau mau ke pabrik itu kan tengkulaknya banyak, yang menentukan harga ya tengkulaknya. Petani tidak bisa menentukan,” akunya.
Menurut Singgih, hasil tembakau yang sudah diolah biasanya akan mendapat tiga perlakuan. Pertama, dijual ke gudang-gudang pabrik rokok. Kedua, dijual ke industri rumahan. Ketiga, disimpan sebagian untuk dikonsumsi sendiri.
Terkadang tembakau petani dibeli dengan harga yang tidak sesuai. Petani tidak bisa berbuat banyak. Belakangan sedang tren rokok lintingan yang membuat geliat industri rokok rumahan mulai bermunculan.
Namun, permintaan tembakau khusus lintingan masih minim. Kalah jauh jika dibandingkan permintaan pabrik. “Kalau pabrikan permintaannya bisa ton. Kalau linting paling banyak 10 kilo,” terang Singgih.
Lanjut dia, pemerintah kabupaten kerap membantu bibit dan pupuk lewat kemitraan melalui koperasi. Kendati demikian, sebagai konsekuensinya petani tidak bisa menentukan harga. Karena harga sudah distabilkan oleh pihak koperasi.
“Jadi petani tidak bisa muluk-muluk menentukan harga sendiri. Biasanya kalau pabrik minta harga segini, tapi dari petani tidak cocok ya mending disimpen dulu,” tuturnya.
Singgih berharap cuaca bagus dan tembakau dibeli dengan harga yang bagus sehingga petani bisa sejahtera.
Ketua Dewan Perwakilan Cabang (DPC) Asosiasi Petani Tembakau (APTI) Kabupaten Temanggung Siyamin menilai Pemkab sudah memperhatikan nasib petani. Dan berusaha maksimal agar harga tembakau bisa bagus. Dari mulai masa tanam, Pemkab biasa memberi bantuan berupa pupuk dan pemberian bibit.
Ketika masa panen tiba, diadakan pantauan khusus (pansus) ke gudang-gudang pabrik rokok (Djarum dan Gudang Garam) untuk melakuan tawar menawar dengan pihak pabrik. “Biasanya ranahnya di situ. Melakukan komunikasi dengan pihak pabrik. Hanya saja usaha-usaha beliau sudah maksimal tapi tidak bisa mengangkat nasib petani tembakau secara signifikan,” katanya.
Siyamin mengibaratkan tembakau Temanggung layaknya lauk. Ketika orang makan mesti ada lauk dan nasi. Sehingga banyak pabrik rokok ingin membeli tembakau Temanggung.
“Mestinya dengan kondisi semacam ini, petani sejahtera. Cuma praktik di lapangan tidak demikian. Karena mungkin kita tidak punya kekuatan dalam regulasi yang bisa menekan pihak pabrikan,” ungkapnya.
Menurutnya kendala petani sekarang karena tidak mempunyai bargaining yang jelas. Tidak memiliki kekuatan dalam tawar-menawar harga. Dijual dengan harga berapun kalau sudah mentok tidak masalah, yang penting laku.
“Kalau begitu berarti petani tidak berpikir untung atau rugi. Tapi yang dipikir daripada tembakau menumpuk di rumah. Melihat saja sumpek mending lempar, urusan rugi pikir nanti,” katanya.
Lebih lanjut, Siyamin berharap pemerintah daerah tidak hanya melihat tembakau sebagai komoditi pendapatan daerah tapi lupa dengan nasib para petaninya. Harus ada kebijakan dan regulasi, yang basisnya daerah mengatur pertembakauan dari hilir hingga hulu.
“Kalau bisa Pemkab harus menjalin kerja sama dengan seluruh pabrik rokok di Indonesia. Kalau masuk ke sini semua kan harganya jadi kompetitif,” terangnya.
Sementara itu, fenomena tembakau lintingan menurut dia sedikit membantu meningkatkan kesejahteraan petani. Karena lintingan prosesnya ridak rumit dan tidak terkena potongan apapun. Harganya jauh lebih mahal.
“Sekarang kalau cuma satu kuintal dirajang untuk dimasukkan pabrik nggak bisa masuk. Mesti harus menambahi kuota minimal, supaya bisa masuk ke gudang. Maka dari itu saya rasa fenomena lintingan bagus karena petani bisa menjual ke sana,” jelasnya (Sumber: Radar Semarang)