Pemerintah memutuskan tidak menaikkan cukai hasil tembakau di segmen kretek tangan (SKT). Dengan tidak dinaikkannya SKT, diyakini kehidupan ekonomi di daerah khususnya di sentra tembakau perlahan kembali pulih.
Mulai dari pelinting, sopir angkot, warung, dan usaha kos-kosan bisa bernapas lega karena terhindar dari ancaman PHK akibat kenaikan cukai hasil tembakau, utamanya di tengah tekanan pandemi COVID-19.
Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia Sriyadi Purnomo mengatakan bahwa keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan cukai SKT merupakan upaya bijaksana untuk menjaga keberlangsungan industri hasil tembakau dan juga tenaga kerja.
“Dengan kondisi IHT yang terus terpuruk terlebih di tengah pandemi COVID-19, keputusan Kemenkeu untuk tidak menaikkan cukai SKT membuat kami bisa sedikit bernafas dan sangat berterima kasih kepada pemerintah,” katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (25/3/2021).
Dia menambahkan bahwa kehidupan ekonomi masyarakat di daerah sentra tembakau turut terstimulasi dengan kebijakan cukai SKT nol persen yang diumumkan di awal Desember 2020 lalu oleh Menteri Keuangan.
“Mereka yang menggantungkan hidupnya pada industri SKT sebenarnya bukan buruh saja, tetapi juga usaha kecil lainnya yang menyediakan kebutuhan dari para buruh itu seperti warung makan, tukang ojek, dan lain-lain. Jadi kalau buruh SKT aman, usaha kecil di sekitarnya juga aman,” katanya.
Sektor Padat Karya
Sriyadi optimistis pemerintah akan senantiasa memperhatikan kelangsungan industri hasil tembakau khususnya sektor padat karya SKT.
“Program pemulihan ekonomi yang dicanangkan pemerintah sejalan dengan upaya penyelamatan terhadap sektor padat karya seperti SKT,” ujarnya.
Industri Hasil Tembakau merupakan salah satu sektor strategis yang memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian. Selain menyumbang pendapatan negara, sektor ini juga memperkuat penyerapan tenaga kerja. Adapun mayoritas pekerja ada di IHT didominasi oleh perempuan, yang berusia muda hingga paruh baya.
Sementara itu, Kepala Dinas Ketenagakerjaan Jawa Tengah Sakina Rosellasari mengatakan di wilayahnya terdapat 67 perusahaan yang masuk kategori perdagangan besar rokok dan tembakau dengan jumlah pekerja 65.777 orang.
“Sebagian besar didominasi oleh pekerja perempuan yakni 84,77 persen,” ujarnya.
Dia mengatakan industri tersebut masuk dalam sektor padat karya di samping industri garmen/tekstil dan industri alas kaki.
“Industri padat karya ini termasuk yang terdampak pandemi COVID-19 karena pendapatan masyarakat menurun, hal yang sama juga terjadi pada penjualan produk rokok pada SKT,” katanya.
Sumber: Liputan 6