Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan Nasional. Perpres ini merupakan perubahan atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan amat erat dengan pemanfaatan pajak rokok untuk menutup defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Melalui Perpres ini, pemerintah bisa menggunakan sebagian porsi pajak rokok yang menjadi hak pemerintah daerah baik propinsi, kota dan kabupaten untuk dialokasikan ke program JKN, termasuk di antaranya menutup defisit yang dialami BPJS Kesehatan.
Pajak rokok sendiri memiliki pengertian berbeda dengan cukai rokok, baik dari cara pungutan maupun besaran pungutannya. Pajak rokok dapat diartikan sebagai pungutan atas cukai yang dipungut pemerintah.
Sementara, cukai rokok adalah pungutan terhadap rokok dan produk tembakau lainnya, termasuk cigaret, cerutu dan rokok daun. Pembebanannya pun berbeda. Kalau cukai rokok dibebankan kepada perokok, sementara pajak rokok dibebankan kepada produsen rokok.
Perhitungan pajak rokok yang digunakan dewasa ini adalah menggunakan pengukuran berdasarkan harga jual eceran atau HJE. Misalnya, kalau HJE rokok dipatok Rp 1.000 per batang, maka penghitungannya adalah sebagai berikut.
Cukai rokok: 40% X Rp 1.000 = Rp 400. Sedangkan Pajak rokok, 10% x Rp 400 = Rp 40. Nah, Rp 40 inilah yang masuk dalam kas pemerintah daerah.
Jadi, bayangkan saja berapa besar pajak rokok yang diterima daerah setiap tahunnya. Tentu besar sekali, sebab bisa dibilang Indonesia merupakan surga perokok, di mana angka penjualan rokok sangat tinggi.
Dalam Perpres No. 28 Tahun 2018 tentang JKN, pemerintah menetapkan mekanisme pemungutan pajak rokok untuk JKN. Mekanismenya, dari 50% pajak rokok untuk daerah, sebanyak 75% akan diambil pemerintah pusat untuk disalurkan ke program JKN.
Sebelumnya, melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.07 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok, pemerintah daerah telah diwajibkan untuk mengalokasikan 50% dari pajak rokok untuk mendanai pelayanan kesehatan.
Terkait dengan penggunaan pajak rokok untuk menambal defisit BPJS Kesehatan, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa penerapannya sudah sesuai dengan aturan dan didukung pula oleh pemerintah daerah.
Dalam sejumlah kesempatan, kepada awak media Presiden mengemukakan bahwa pada akhirnya daerah menjadi pihak yang akan menerima manfaat dari pajak rokok ini. Pasalnya, dana yang dipotong untuk JKN akhirnya akan bermanfaat pula bagi pelayanan kesehatan di daerah.
Kemenkeu menyatakan pemotongan pendapatan pajak rokok dari pemerintah daerah berpotensi memberikan kontribusi sebesar Rp 1,1 triliun untuk BPJS Kesehatan.
Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo menjelaskan kepada media nasional bahwa pemotongan pendapatan pajak rokok hanya diperuntukkan bagi daerah yang belum melaksanakan integrasi Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) ke BPJS Kesehatan.
Mengacu pada data Kemenkeu, per Juni 2018 terdapat 289 daerah dari 542 pemerintah daerah, baik kabupaten, kota maupun provinsi yang belum sepenuhnya menjalankan kewajiban tersebut. Di antara 289 daerah tersebut bahkan ada 22 pemerintah daerah yang sama sekali belum mengintegrasikan Jamkesda dengan BPJS Kesehatan.
Semoga dengan peraturan baru mengenai pajak rokok ini, defisit BPJS Kesehatan bisa segera teratasi sekaligus membuat fungsi pelayanan kesehatan kepada masyarakat menjadi lebih baik lagi.***
Sumber: online Pajak