Forum Antara Berdiskusi yang digelar Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara Biro Jawa Timur (Jatim) di Surabaya, Selasa (26/2/2019) mengambil tema “Cara Surabaya Mengatur Rokok, Bisa Jadi Rujukan?”.
Tampil sebagai pembicara Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Kabid P2P) Dinas Kesehatan (Dinkes) Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dr Mira Novia MKes, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno dan Praktisi Media Slamet Hadi Purnomo.
Diskusi dibuka oleh video yang menampilkan anggota Panitia Khusus (Pansus) Revisi Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya Reni Astuti.
Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD Kota Surabaya itu menyampaikan bahwa pembahasan Revisi Perda KTR sudah dalam tahap finalisasi.
“Selanjutnya draf revisi yang telah kami susun akan dikirim ke Gubernur Jawa Timur melalui Badan Musyawarah DPRD Surabaya,” katanya.
Kalau sudah ditindaklanjuti oleh gubernur, sambung Reni, kemudian dikembalikan ke DPRD Surabaya untuk diparipurnakan dan diberi nomor. “Semoga proses pengesahannya di paripurna berjalan lancar,” kata Reni.
Dia secara khusus membuat video ini untuk Forum Diskusi Antara karena pada hari yang sama mayoritas anggota DPRD Surabaya menghadiri pertemuan Asosiasi DPRD Kota se- Indonesia di Mataram, Nusa Tenggara Barat, sehingga berhalangan hadir.
Mewakili eksekutif, dr Mira mengatakan sebelumnya Kota Surabaya memiliki Perda Nomor 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok (KTR/ KTM).
“Revisi Perda Nomor 5 Tahun 2008 kami ajukan ke DPRD Surabaya karena ada aturan bersama dari Pemerintah Pusat yang harus mengubahnya menjadi KTR. Tapi dalam revisi ini kami tetap memasukkan unsur KTM. Beberapa item harus dirubah serta merinci lokasi KTR di mana saja,” katanya, menjelaskan.
Dia memaparkan, dalam Perda Nomor 5 Tahun 2008 hanya ada lima lokasi KTR, yaitu sarana kesehatan, tempat belajar-mengajar, angkutan umum, tempat bermain anak dan tempat ibadah.
“Dalam revisi ini ditambahkan menjadi tiga lokasi KTR baru yang harus menyediakan tempat untuk merokok, yaitu kantor, tempat-tempat lainnya, dan tempat umum,” ucapnya.
Mira menegaskan Revisi Perda KTR tidak mengatur tentang batasan produksi atau iklan rokok. “Revisi Perda KTR hanya mengatur di mana orang seharusnya boleh merokok. Karena Orang yang tidak merokok punya hak asasi. Mereka juga ingin hidup sehat dan harus kami akomodir,” ujarnya.
Jika revisi Perda tersebut mulai diterapkan, sanksi bagi yang melanggar adalah denda senilai Rp250 ribu. Bagi Aparatur Sipil Negara yang melanggar, sanksinya bisa dipecat.
Ketua APTI Soeseno dalam kesempatan itu merasa pihaknya tidak dilibatkan dalam penyusunan Revisi Perda KTR. Dia berharap Revisi Perda KTR, meski nantinya setelah disahkan hanya diberlakukan di wilayah Kota Surabaya, tidak merugikan bagi para petani tembakau di Jawa Timur yang selama ini memberi kontribusi sebesar 60 persen bagi industri rokok se- Indonesia.
Praktisi Media Slamet Hadi Purnomo menilai inti dari Revisi Perda KTR sejatinya adalah untuk membentuk perilaku bagi perokok agar menghormati orang lain yang tidak merokok.
“Memang diharapkan ada efek jera melalui sanksi yang diberlakukan tapi muara dari dibuatnya aturan dalam revisi Perda KTR ini adalah membentuk perilaku perokok agar tidak seenaknya merokok di berbagai tempat,” ucap Kepala LKBN Antara Biro Jatim ini. (*)