Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek baru-baru ini mengirimkan surat ke Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara untuk melarang kehadiran iklan rokok di internet sebagai langkah dalam mencegah peningkatan jumlah perokok anak.
Dalam suratnya tertanggal 10 Juni 2019, Menkes Nila menyebutkan bahwa riset kesehatan dasar tahun 2018 menunjukkan terjadi peningkatan prevelansi perokok anak dan remaja usia 10-18 tahun dari 7,2% di tahun 2013, menjadi 9,1% di tahun 2018.
Salah satu momok peningkatan angka tersebut adalah tingginya paparan iklan rokok di berbagai media, termasuk media teknologi informasi, di mana 3 dari 4 remaja mengetahui iklan rokok di media daring atau online. Iklan rokok banyak ditemukan oleh para remaja di jejaring media sosial seperti Youtube, Instagram, juga termasuk game online.
Permohonan tersebut dikirim dengan mempertimbangkan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam beleid ini, Pasal 113 berisi pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif termasuk konsumsi tembakau diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
Di lain pihak, industri rokok Tanah Air memang berulangkali mengeluhkan penurunan jumlah perusahaan. Data Kementerian Perindustrian menyebutkan jumlah pabrik rokok di Indonesia turun 80,8% dari 2.540 pabrik pada 2011 menjadi 487 pabrik pada 2017. Akibatnya, lapangan kerja berkurang dan produksi rokok terus menurun.
Tahun | 2013 | 2014 | 2015 | 2016 | 2017 | 2018 | Rata-Rata |
Produksi Rokok (Miliar Batang) | 345 | 344 | 348 | 342 | 332 | 332 | 341 |
Penerimaan Cukai Rokok (Rp Triliun) | 108 | 118 | 115 | 144 | 153 | 153 | 132 |
Sumber Data: Kementerian Perindustrian dan Direktorat Jenderal Bea Cukai
Dari tabel di atas terlihat total produksi rokok turun dari 345 miliar batang di tahun 2013, menjadi 332 miliar batang tahun lalu. Penurunan ini disebabkan oleh peningkatan tarif cukai dan kebijakan larangan merokok.
Uniknya, mayoritas kinerja top line (pendapayan) perusahaan rokok raksasa di Ibu Pertiwi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) masih mampu mencatatkan rata-rata pertumbuhan pendapatan mencapai 9% per tahun.
Pada kuartal pertama tahun ini, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) mampu mencatatkan pertumbuhan hingga 19,18% year on year (YoY) pada total pemasukan menjadi Rp 26,2 triliun. Perolehan tersebut berhasil menyalip PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) yang biasanya selalu menjadi jawara.
Pendapatan HMSP hanya tumbuh tipis 2,89% secara tahunan (YoY) menjadi Rp 23,81 triliun dibanding periode yang sama tahun lalu yang senilai Rp 23,14 triliun.
Dari capaian tersebut, terlihat bahwa konsumsi masyarakat tidak banyak terganggu, meskipun terdapat kebijakan yang membatasi aktivitas bisnis industri tembakau.
Ini sejalan dengan temuan WHO yang menyebutkan bahwa permintaan rokok cenderung inelastis.
“Relatively inelastic demand,” demikian tulis WHO merujuk pada produk tembakau, terutama rokok, dalam laporannya yang berjudul “The Demand for Cigarettes and Other Tobacco Products.” Laporan itu disusun dengan formula penghitungan koefisien elastisitas barang yang jamak dipakai.
Tampaknya, pembatasan iklan rokok di internet tersebut tidak akan memberikan dampak yang signifikan pada total pemasukan perusahaan rokok raksasa Indonesia.***
Sumber: CNBC Indonesia