Kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 23% yang berimbas pada kenaikan harga jual eceran (HJE) rokok sebesar 35% awal tahun ini, diharapkan berpengaruh positif terhadap kenaikan omzet penjualan tembakau. Dengan kenaikan harga rokok saat ini, bukan mustahil jika konsumen rokok beralih mengonsumsi tembakau mole.
“Kenaikan harga rokok imbas kenaikan CHT, hingga kini belum berdampak pada penjualan tembakau. Akan tetapi, kami berharap ada pengaruh positif pada kenaikan omzet penjualan tembakau,” ujar salah seorang pengolah tembakau, Lukman Hasanudin (28) ketika ditemui di rumahnya di Dusun Kuta, Desa Genteng, Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang, Kamis 2 Januari 2020.
Menurut dia, konsumen rokok dengan tembakau memang berbeda. Konsumen rokok, segmennya kalangan menengah ke atas. Sebaliknya konsumen tembakau adalah kalangan menengah ke bawah seperti halnya para petani dan pekebun.
Namun, dengan kenaikan harga rokok saat ini, bukan mustahil jika konsumen rokok beralih mengonsumsi tembakau yang harganya lebih murah. Terlebih, tahun ini tarif cukai tembakau termasuk harga jualnya, tidak mengalami kenaikan.
“Cukai rokok naik, tapi cukai tembakau tidak. Sampai sekarang cukai tembakau masih tetap dipatok Rp 10/gram. Karena harga rokok sekarang relatif mahal dan relatif tidak terjangkau masyarakat, bisa saja konsumennya beralih membeli tembakau sehingga omzet penjualan tembakau naik. Ya mudah-mudahan saja,” ucap Lukman.
Hanya saja, kata dia, kenaikan cukai dan harga rokok saat ini akan berdampak buruk terhadap para petani tembakau. Harga jual tembakau dari petani akan ditekan lebih murah oleh pabrik rokok. Pasalnya, ketika harga rokok naik, omzet penjualan rokok di pasaran akan turun karena pembelinya berkurang. Anjloknya omzet penjualan rokok, akan membebani kondisi keuangan industri rokok.
“Untuk menyetabilkan kondisi keuangan pabrik rokok, ujung-ujungnya harga tembakau dari para petaninya yang akan ditekan. Jadi, yang terkena dampak negatif kenaikan cukai dan harga rokok, yakni para petaninya. Petani tembakau yang terkena getah kenaikan rokok, khusus para petani yang memasok tembakau ke pabrik- pabrik rokok,” katanya.
Disinggung tentang cukai tembakau, Lukman menjelaskan, meski cukai tembakau tidak mengalami kenaikan, kondisi usaha para pengolah tembakau kini dinilai berat. Kondisi itu, terbebani PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang relatif tinggi dan memberatkan pengusaha. PPN yang diterapkan pemerintah saat ini mencapai 9,1% dari batas minimal omzet tembakau senilai Rp 4,8 miliar/tahun.
Supaya tidak memberatkan, idealnya batas minimal omzet penjualan tembakau dinaikkan dua kali lipat. Dari yang sekarang Rp 4,8 miliar dinaikan menjadi sekitar Rp 10 miliar/ tahun. “Kalau batas minimal omzetnya dinaikkan menjadi Rp 10 miliar/tahun, tidak terlalu memberatkan dengan PPN 9,1%,” katanya.
Ia mengatakan, omzet penjualan tembakau di perusahaannya mencapai sekitar Rp 10 miliar/tahun. Dengan beban cukai tembakau Rp 10/gram ditambah PPN dan PPh (pajak penghasilan), biaya yang harus dibayar dalam setahun mencapai sekitar Rp 500 juta.
“Biaya sebesar itu, cukup memberatkan kami sebagai pengolah tembakau, ” ujar Lukman.***
Sumber: Pikiran Rakyat