Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) angka bicara mengenai keputusan pemerintah yang menaikan tarif cukai rokok sebesar 23 persen dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35 persen pada 2020.
Sebagaimana diketahui, pemerintah mengambil keputusan tersebut karena merasa adanya kepentingan mendesak untuk mengendalikan konsumsi rokok dengan dasar terjadi kenaikan konsumsi pada wanita dan anak, membasmi rokok ilegal dan meningkatkan penerimaan negara.
Ketua Gaprindo Muhaimin Moeftie mengatakan, industri rokok mengalami tren yang stagnan bahkan cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan produksi sejak 2016 adalah negatif setiap tahunnya dengan kisaran -1 persen hingga -2 persen.
Menurut dia, pada 2018 hanya tersisa 456 pabrikan dari 1.000 pabrik rokok yang ada di 2012.
“Di samping itu, kami melihat kecenderungan pasar yang kian sensitif terhadap harga, dimana mayoritas konsumen lebih memilih rokok-rokok value for money dengan kisaran harga Rp 15 ribu-Rp 20 ribu,” kata dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (16/9/2019)
Muhaimin menjelaskan, kenaikan cukai rokok sebesar 23 persen dan HJE 35 persen di 2020 akan kian menghimpit kondisi industri rokok nasional.
“Kami tidak akan memiliki ruang bergerak yang cukup untuk menciptakan inovasi produk yang diperlukan untuk menghidupkan industri ini. Akibatnya, rokok ilegal berpotensi besar naik kembali. Hal ini telah terjadi pada negara tetangga kita Malaysia di mana pada tahun 2015 pemerintah menaikan cukai rokok sekitar 43 persen akibatnya rokok illegal meningkat drastis menjadi lebih kurang 60 persen. Akibatnya, penerimaan menurun karena jumlah pembelian pita cukai merosot tajam,” jelas dia.***
Sumber: Liputan6