Acara “Doa untuk Ging” yang berlangsung di Gedung YPK, Jalan Naripan, Bandung, Minggu (27/1/2019), seakan menjadi ajang reuni para seniman, jurnalis, dan aktivis kemanusiaan. Di sini disampaikan kesaksian tentang perjuangan dalam melawan rezim otoriter Soeharto.
Kesaksian, antara lain, disampaikan mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Presiden Southeast Asian Press Alliance (Seapa), Eko Maryadi yang akrab disapa Item.
Item menyampaikan hubungan Ging dengan majalah Independen era 90-an. Awalnya majalah ini berupa tulisan stensilan yang diberi nama Forum Wartawan Independen (Fowi). Fowi sendiri merupakan wadah para jurnalis yang tidak mau bergabung dengan organisasi wartawan yang direstui pemerintah Orde Baru.
Sejumlah seniman yang terlibat dalam Fowi antara lain seniman Tisna Sanjaya yang juga merangkap panitia acara “Doa untuk Ging”.
“Fowi itu organisasi wartawan yang berdiri di Bandung, di kota kita ini, yang didirikan para seniman, wartawan dan para aktivis HAM,” kata Item.
Ging termasuk anggota Fowi. Item mengenal Ging di klub teater Gelanggang Seni Sastra Teater dan Film (GSSTF) Universitas Padjadjaran. Belakangan Item tahu bahwa Ging bekerja di koran lokal Gala sebagai fotografer.
Item kembali berhubungan dengan Ging ketika peristiwa besar bagi dunia pers yang terjadi 21 Juni 1994, ketika Soeharto membredel 3 media, yakni Tempo, Editor, dan Detik yang menjadi tempat kerja Ging.
Menghadapi pemberedelan itu, Ging dan kawan-kawannya di Fowi tak tinggal diam. Mereka kemudian mendeklarasikan AJI. Organisasi ini dimotori empat organisasi wartawan, selain Fowi, Surabaya Pers Club, Forum Wartawan Yogyakarta, dan Serikat Jurnalis Independen Jakarta.
Sejak terbentuknya AJI, Item lebih sering lagi bertemu Ging. “Waktu itu saya masih anak bawang, saya bukan siapa-siapa yang kebetulan ikut menjaga kantor AJI di rumah susun Tanah Abang di Jakarta. Kemudian saya sering ikut rapat dengan para aktivis AJI. Ging salah satu yang sering ketemu karena dia punya kantor Detik di Jakarta,” katanya.
Aktivitas AJI kemudian banyak dilakukan di Bandung. Mereka menempati secretariat di Jalan Morse. Ging dan kawan-kalan lalu menerbitkan majalah Independen secara bawah tanah. Item sendiri saat itu menjadi jurnalis untuk Independen.
Karena terbitan majalah Independen pula Item bersama pendiri AJI lainnya, Ahmad Tufik, ditangkap aparat rezim Orde Baru dengan tuduhan makar pada Maret 1995.
Menurut Item, Ging turut menyembunyikan majalah Independen sebagai barang bukti. Jika majalah tersebut tak disembunyikan, kata Item, vonis hakim terhadap dirinya bisa lebih besar lagi.
“Karena saya tahu kalau tertangkap dengan barang bukti itu mungkin hakim di pengadilan negeri Jakarta Pusat tidak akan vonis saya 3 tahun, mungkin saya akan divonis 10 tahun,” cerita Item.
Selama Item dan Ahmad Taufik ditahan aparat rezim Soeharto, Ging melanjutkan penerbitan Independen secara bahwah tanah. Majalah Independen kemudian berubah nama menjadi Suara Independen. Sampai akhirnya Ging pun ditangkap rezim dan dijebloskan ke penjara.
Acara “Doa untuk Ging” diisi dengan berbagai macam kesenian, mulai kecapi dan pantun, konser gitar akustik, pembacaan puisi, tarian, demonstrasi melukis dan orasi budaya.
Panggung YPK dihias kain putih dan instalasi makam bertuliskan “Ging” buatan Tisna Sanjaya. Hadir pula keluarga Ging seperti Luan, anak Ging, dan ibunya, Laurent. Mereka tiba bersama ayah Ging, Yahya Ganda, dan kerabat lainnya.
Acara dibuka dengan lagu Indonesia Raya diiringi petikan gitar Adew Habtsa dan kibaran bendera Imam Suryantoko. Setelah itu, pidato pembuka disampaikan Tisna Sanjaya.
Tokoh seni yang tampil antara lain Ine dan Herry Dim, Hawe Setiawan, Hikmat Gumelar, Iman Soleh, Ganjar Noor, Ferry Curtis, Mukti-mukti Deddy Koral, Aat Suratin, Ipit Dimyati.
Di dinding YPK juga dipajang sejumlah terbitan Suara Independen yang diterbitkan Ging bersama kawan-kawannya semasa memperjuangkan kebebasan pers dari penindasan rezim Orde Baru. [Iman]