Setiap tahun, pemerintah daerah menerima Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) dari negara. Di tengah pandemi dan ekonomi yang sulit, buruh pabrik rokok dan petani tembakau berharap bagi hasil itu menetes sampai mereka. Sayang, harapan itu terganjal berbagai persoalan.
Waljid Budi Lestarianto meyakini, ada hak buruh pabrik rokok dalam DBHCHT yang telah dibayarkan pemerintah pusat ke daerah. Karena itulah, Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman DI Yogyakarta itu merasa perlu menuntut realisasinya.
“Bagi kami bukan soal nilai, ini bagian dari apresiasi, sedikit atau banyak. Yang kedua, di masa seperti ini, industri kami tetap berjalan normal, tetap mencarikan pendapatan untuk negara. Ini harus diakui,” kata Waljid kepada VOA.
Tergeser ke Sektor Kesehatan
Beberapa waktu terakhir, Waljid berupaya melakukan klarifikasi soal dana itu ke sejumlah pihak di Yogyakarta. Kementerian Keuangan telah menyerahkan DBHCHT ke Yogyakarta, sebesar Rp 10,07 miliar.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 230 Tahun 2020, dana itu harus dibagi sesuai peruntukannya. Sebesar 25 persen untuk bidang Kesehatan; 25 persen untuk penegakan hukum; 15 persen untuk peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) petani tembakau dan buruh rokok; serta 35 persen untuk bantuan petani tembakau dan buruh rokok. Menurut ketentuan itu, setidaknya 50 persen dana untuk kepentingan buruh pabrik rokok dan petani tembakau.
Namun, pemerintah DI Yogyakarta ternyata memutuskan untuk mengalihkan dana tersebut ke sektor kesehatan.
Padahal, kata Waljid, buruh pabrik rokok telah menunggu realisasi bantuan bagi mereka dari DBHCHT. Meski tidak mengetahui berapa besaran yang akan diterima, tetapi karena ini menjadi yang pertama, harapan itu cukup besar. Mereka berharap, alokasi dana itu dapat digunakan untuk membantu modal bagi buruh rokok yang akan pensiun, atau membantu mereka yang terdampak pandemi.
“Kalaupun akhirnya dimasukkan untuk penanganan kesehatan, kami berharap khusus untuk DBHCHT alokasinya tetap untuk petani dan juga buruh pabrik rokok,” tambah Waljid.
Buruh juga memiliki beban biaya kesehatan yang cukup tinggi. Waljid berharap, DBHCHT mengalir langsung ke mereka, meski diembel-embeli biaya kesehatan. Bahkan jika terpaksa sekali, setidaknya dana itu diberikan dalam bentuk vaksin bagi buruh pabrik rokok. Meski semua memahami, bahwa vaksin pada dasarnya adalah layanan gratis.
Tahun ini merupakan kesempatan pertama bagi buruh pabrik rokok untuk ikut menikmati DBHCHT.
Sebelumnya, pemerintah hanya menentukan dana tersebut diberikan untuk sektor ketenagakerjaan, tanpa keterangan lebih rinci. Sejauh 2017, kata Waljid, buruh pabrik rokok berjuang meminta pembagian lebih adil, dan kemudian disetujui Kementerian Keuangan. Sayangnya, kata dia lagi, realisasi di daerah sampai Juli ini justru tidak jelas.
“Kami hanya minta patuhi PMK-nya saja. Kalau memang aturannya begitu, tolong disalurkan sesuai aturan tersebut. Ini bukan tiba-tiba. Ini bagian dari advokasi panjang kami, supaya kami juga diperhatikan oleh negara,” ujarnya.
Petani tembakau punya aspirasi yang sama. Di tengah pandemi, mereka berharap DBHCHT yang 35 persen akan mengalir ke mereka. Jika bukan dalam bentuk tunai, setidaknya dalam bentuk Bantuan Sosial (Bansos) atau bantuan lain, selain peralatan pertanian, pupuk dan sejenisnya.
“Ya pengen bentuknya tunai, justru itu yang diharapkan, kalau saya pribadi. Tetapi kalau Bansos syaratnya buruh tani, bukan petani. Aturannya itu yang dapat Bansos buruh, bukan petaninya. Petani sementara ini enggak disentuh oleh pemerintah. Petani itu dianggap kaya,” kata Suyatna, dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, kepada VOA. Dia mengaku sudah menyampaikan keinginan itu, tetapi terbentur ketentuan berbeda.
Secara teknis Suyatna menceritakan, mereka yang menerima Bansos sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dimiliki. Sementara, Bansos hanya diberikan salah satunya kepada buruh tani. Padahal, dalam data pekerjaan di KTP, Suyatna dan teman-teman petani tembakau jelas menyebut pekerjaan mereka sebagai petani.
Tidak mungkin, ujarnya, untuk mengganti KTP petani tembakau hanya agar bisa menerima bantuan sosial melalui skema DBHCHT.
Selama ini, tambahnya, DBHCHT sampai ke petani dalam bentuk barang. Bisa berupa peralatan bertani mulai traktor kecil sampai mesin potong rumput, pupuk, bahkan sapi, yang diberikan ketika mereka meminta bantuan pupuk kandang. Ketika pandemi mulai datang tahun lalu, gagasan tentang dana tunai sampai ke petani tembakau itu sudah muncul. Sayangnya, menurut pemerintah daerah, permintaan itu tidak diakomodasi oleh aturan yang ada.
“Saya sudah sampaikan ke Dinas di Kabupaten. Tetapi kata mereka, kalau peraturannya tidak diganti, ya petani tetap tidak bisa mendapat apa-apa. Kalau sekarang bagi hasil yang untuk petani itukan untuk subsidi harga, Bansos, kesehatan dan asuransi tanaman,” ujar Suyatna.
Petani sendiri, kata Suyatna, sudah diminta memberikan laporan data mengenai siapa saja yang terdampak pandemi. Namun, bantuan hanya dijanjikan kepada mereka yang masuk kategori buruh tani, bukan petani. Padahal, tidak semua petani kaya, tambah Suyatna. Di sisi lain, buruh tani bisa menerima bantuan dari skema yang lain, karena mereka dikategorikan layak menerima bantuan. Petani seolah terjepit di tengah aturan itu, hanya karena status mereka.
Meski begitu, sejauh ini Suyatna mengaku dukungan pemerintah dalam bentuk barang atau peralatan, lancar diberikan di bawah skema DBHCHT. Bantuan diberikan kepada kelompok tani, bukan kepada masing-masing petani. Namun dia masih punya harapan, ada perubahan aturan yang memungkinkan mereka menerima bagi hasil tunai dari DBHCHT.
Pendapatan Naik
Dalam rapat kerja Badan Anggaran DPR dengan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia, Senin (12/7), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan Pokok-Pokok Laporan Realisasi Semester I APBN 2021. Di dalamnya, Sri Mulyani mengatakan bahwa pendapatan negara tumbuh positif didukung meningkatnya pertumbuhan pajak, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), serta kepabeanan dan cukai.
“Penerimaan kepabeanan dan cukai Rp 122,2 Triliun atau tumbuh 31,1 persen, utamanya dari limpahan pelunasan pita cukai 2020 dan kebijakan penyesuaian tarif cukai hasil tembakau,” kata Sri Mulyani dalam rilis resmi Kemenkeu.
Dari jumlah penerimaan kepabeanan dan cukai di atas, secara rinci menurut data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kemenkeu, penerimaan cukai hingga semester I 2021 mencapai Rp 91,3 triliun. Dari jumlah tersebut, realisasi penerimaan dari Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok adalah Rp 88,5 triliun. Angka itu mengalami pertumbuhan 21 persen dibanding periode sama tahun 2020.
Kementerian Keuangan telah menetapkan DBHCHT 2021 sebesar total Rp 3,4 triliun lebih. Dari jumlah itu, Jawa Timur menerima bagi hasil paling besar, yaitu lebih dari 1,9 triliun, disusul Jawa Tengah menerima Rp 743,4 miliar, dan Jawa Barat Rp 401,6 miliar.
Meski terlihat jelas perhitungan di atas kertas, dana bagi hasil itu belum pasti langsung sampai ke buruh pabrik rokok dan petani. Padahal, mereka juga harus menghadapi kondisi ekonomi yang memburuk di tengah pandemi.(sumber: Voaindonesia).