Ketua Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PD FSP RTMM-SPSI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Waljid Budi Lestarianto menegaskan bahwa pihaknya menolak rencana pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
RTMM DIY menilai rencana revisi PP 109 tidak tepat di saat situasi ekonomi belum kondusif akibat pandemi Covid-19.
“Revisi PP 109 akan menjadi persoalan serius ditengah situasi ekonomi yang tidak kunjung pulih dan hanya akan memperparah situasi,” tegas Waljid, Jumat 2 Juni 2021.
Ia mengatakan ada hal yang kurang transparan terutama dalam proses pembahasan terkait PP 109. Pihak – pihak yang berkompeten justru tidak pernah dilibatkan dalam proses revisi sejak awal, terutama pada saat pertemuan yang sifatnya intensif.
Kelompok yang mengatasnamakan kesehatan secara sadar mendorong rencana revisi PP 109/2012. Dari hasil pantauan kami kelompok yang mengatasnamakan kesehatan justru mengambil keuntungan dari situasi saat ini dimana Pemerintah dan masyarakat tengah berjibaku menghadapi Covid-19 bahkan menerima aliran dana dari institusi asing Bloomberg International.
Perumusan kebijakan tersebut kata Waljid, hanya terbatas dilakukan untuk mengakomodasi kepentingan kelompok mereka saja. Pemangku kepentingan Industri hasil tembakau yang justru akan menanggung dampak malah tidak diberitahu mengenai perubahan regulasi tersebut pada saat rancangan akhir revisi tersebut telah disusun. Hal tersebut diyakini bukan tanpa maksud.
Diungkapkan Waljid, proses tersebut melanggar amanah Peraturan dan Perundang- undangan.
“Lagi-lagi Kementerian Kesehatan ditunggangi oleh kepentingan lain sehingga tetap pemangku kepentingan tidak diinformasikan hingga fase akhir revisi bahkan hingga tahap sosialisasi. Modus ini banyak juga dilakukan pada proses penyusunan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di daerah,” ungkapnya.
Waljid juga mengutarakan bahwa BPOM sebagai salah satu aktor penting revisi kebijakan PP 109 mengakui pentingnya keterlibatan pemangku kepentingan sektor IHT di dalam proses revisi kebijakan tersebut.
Hal ini disampaikan Waljid berdasarkan informasi yang diperoleh dari perwakilan BPOM yang menyatakan bahwa proses perumusan revisi PP akan disampaikan kepada stakeholder terkait, hanya pada saat finalisasi revisi PP 109/2012 saja.
“Kita bisa saksikan sendiri ada rencana pembahasan di mana kita semua dalam situasi yang sulit saat ini termasuk pabrik di mana tempat kita bekerja,” ucapnya.
PD FSP RTMM-SPSI dalam pernyataan sikapnya mengakui bahwa Industri Hasil Tembakau di Indonesia terus menghadapi tantangan berat. Situasi saat ini misal, di dalam rancangan revisi PP tersebut IHT harus meningkatkan perluasan peringatan kesehatan berbentuk gambar yang awalnya sebesar 40 persen menjadi 90 persen.
Waljid menambahkan saat pandemi Covid-19 meluas di Indonesia, produksi IHT secara umum menurun. Dampak Covid-19 terhadap produksi IHT tentu saja juga berimbas pada tenaga kerja. Industri yang padat karya ini harus mengurangi jam kerja buruh di pabriknya masing-masing guna menghindari persebaran Covid-19.
“Kami pekerja sektor rokok tergabung dalam PD FSP RTMM-SPSI DIY meminta para pihak baik eksekutif maupun legislatif menunda pembahasan rancangan Peraturan Pemerintah No 109 tahun 2012, atas dasar kemanusiaan,” ujarnya.
Pada tanggal 4 Juni lalu, Pengurus Pusat FSP RTMM SPSI telah mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi untuk memohon agar proses diskusi revisi PP 109/2012 dihentikan setelah sebelumnya menyampaikan penolakan melalui konferensi pers.
Meski revisi PP 109 ini diusulkan oleh Kementerian Kesehatan, namun tidak semua Kementerian terutama di industri terkait memiliki pendapat serupa. Kementerian Perindustrian menyatakan bahwa revisi tidak tepat apabila dilakukan pada situasi pandemi karena akan semakin memperburuk kondisi Industri Hasil Tembakau (IHT).
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim menyatakan situasi IHT juga sedang turun, sehingga saat ini fokusnya pada pemulihan ekonomi. (sumber: Suara.com)