Singkong, atau ubi kayu merupakan salah satu bahan makanan yang penting di Indonesia. Alih-alih beras, beberapa daerah di Indonesia memilih singkong sebagai bahan makanan pokok.
Namun, tahukah Anda bahwa Indonesia masih mengimpor singkong untuk memenuhi kebutuhan? Padahal, apa susahnya menanam singkong?
Berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, sejak tahun 2006 singkong dan produk turunannya masih terus didatangkan dari luar negeri.
Dicermati lebih dalam, ternyata ada dua bentuk singkong yang diimpor Indonesia.
Pertama, singkong dalam bentuk kepingan kering (dried chips) atau beku yang masuk dalam golongan barang HS 071410. Bentuk ini merupakan padatan yang belum diolah menjadi tepung.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah impor singkong padat tersebut mencapai 308 ton pada tahun 2018. Jumlah itu relatif jauh lebih rendah dibanding nilai ekspor singkong Indonesia yang mencapai 1.433 ton di tahun yang sama.
Namun bila dilihat polanya dalam 10 tahun terakhir, jumlah impornya mengalami tren peningkatan. Rata-rata impor singkong periode 2014-2018 mencapai 4.070 ton/tahun, yang mana jauh lebih besar dibanding rata-rata periode 2009-2013 yang hanya 3.064 ton/tahun.
Sebaliknya, ekspornya malah memperlihatkan pola penyusutan. Pada periode 2014-2018, rata-rata ekspor singkong hanya sebesar 26.561 ton/tahun, jauh lebih kecil dibandingkan periode 2009-2013 yang masih bisa sebesar 117.236 ton/tahun.
Kedua, produk turunan dari singkong yang masuk dalam golongan barang HS 110814.
Merujuk Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) 2017, deskripsi barang dengan kode HS 110814 adalah ‘Pati ubi kayu (cassava)’.
Sebagai informasi, pati singkong merupakan bahan dasar untuk pembuatan tepung tapioka, atau biasa juga disebut tepung kanji. Tepung ini banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk membuat berbagai makanan seperti cilok, cimol, seblak, dan bakso.
Menariknya, jumlah impor pati singkong ini jauh lebih besar dibandingkan singkong dalam bentuk padatan.
Pada tahun 2018, BPS mencatat sebanyak 375.590 ton pati singkong senilai US$ 185,6 juta masuk ke Indonesia sebagai barang impor. Sedangkan jumlah ekspor pada periode yang sama jauh lebih kecil, hanya 8.090 ton atau senilai US$ 5,28 juta. Artinya perbandingan impor pati sawit mencapai 45x lipat dari ekspornya.
Sama halnya dengan singkong padatan, tren impor pati singkong juga mengalami peningkatan dalam 10 tahun terakhir.
Rata-rata impor pati singkong periode 2014-2018 mencapai 470.436 ton/tahun, yang mana meningkat dari yang sebesar 335.015 ton/tahun pada periode 2009-2013.
Sebaliknya, ekspornya malah turun, dari yang rata-rata mencapai 38.602 ton/tahun (2009-2013), menjadi tinggal 14.246 ton/tahun (2014-2018). Dengan melakukan impor pati singkong, artinya Indonesia juga membeli jasa pengolahan singkong dari luar negeri. ***
Sumber: CNBC Indonesia