“Apakah pengesahan perpanjangan pembahasan RUU dan Non-RUU ini dapat disetujui?” kata Utut Adianto pada rapat paripurna DPR Selasa (19/03/2019).
Dengan serempak, anggota rapat menjawabnya. “setuju.” Tok tok tok, palu yang dipegang Utut menegaskan putusan rapat.
Salah satu Rancangan Undang-Undang (RUU) yang pembahasnnya diperpanjang itu adalah RUU Pertembakauan. RUU ini telah beberapa kali diperpanjang masa pembahasanya. Tercatat lebih dari lima kali Dewan Perwakilan Rakyat melakukan perpanjangan pembahasan RUU. DPR memutuskan pembahasan RUU Pertembakauan digelar usai Pemilu 2019.
Sebelumnya, Peneliti Fungsi Legislasi Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia ( Formappi) Lucius Karus mempertanyakan alasan DPR memperpanjang pembahasan RUU. Menurut Lucius, perpanjangan pembahasan RUU harus melalui mekanisme dan alasan yang jelas.
“Jadi saya kira tidak perlu mencari alasan mereka (DPR) memanfaatkan peluang proses memperpanjang RUU tanpa alasan apa pun,” kata Lucius, di Kantor Formappi, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu.
Menurut Lucius, berdasar ketentuan Pasal 143 Peraturan Tata Tertib DPR pembahasan RUU maksimal dilakukan 3 kali masa sidang. “Saya kira pasti proses pembahasan pasal “kalajengking” di satu sisi Tatib dapat memerintahkan batas waktu 3 kali sidang tetapi di satu sisi di Pasal yang berbeda sidang bisa diperpanjang tanpa alasan jika disetujui pimpinan,” ujar Lucius.
Pasal/ayat “kalajengking” yang dimaksud adalah tiga kali masa sidang yang disebut durasi waktu pembahasan satu RUU tidak ada makna sekali bila DPR melakukan perpanjangan pembahasan RUU. “Jadi pasal-pasal ini DPR bekerja tanpa pola, tanpa target saat menentukan ada batas pembahasan 1 RUU. Pada saat yang sama, tiga masa sidang tidak ada maknanya ketika di pasal selanjutnya masa waktu pembuatan RUU waktu pembahasan bisa bertambah tanpa ada batas lagi,” kata Lucius.
Perpanjangan waktu pembahasan suatu RUU memang diberi peluang dan landasan hukum yaitu diatur dalam Pasal 143 Peraturan Tata Tertin DPR. Perpanjangan pembahasan RUU didasarkan pertimbangan-pertimbangan dengan permintaan tertulis pimpinan, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan panitia khusus. Baca juga: Menanti DPR Menggenjot Kinerja Legislasi.
Selain itu, perpanjangan diberikan berdasarkan pertimbangan materi muatan rancangan undang-undang bersifat kompleks dengan jumlah pasal yang banyak serta beban tugas dari komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus.
Lucius mengatakan, kelonggaran aturan itu dimanfaatkan DPR untuk “santai” melakukan pembahasan RUU karena tidak ada aturan ketat untuk menyelesaikan satu RUU. “Tidak bisa ada satu rencana pembahasan RUU yang tanpa batas waktu. Mereka (DPR) memiliki program prioritas tahunan itu mestibya harus diwujudkan kalau itu RUU prioritas,” kata Lucius.
Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, pembahasan RUU tidak hanya di tangan DPR, melainkan juga menjadi tanggung jawab bersama dengan pemerintah.
“Karena sesuai dengan ketentuan yang ada, pembuatan UU di DPR harus bersama-sama dengan pemerintah. DPR tidak bisa sendirian apalagi bertindak suka-suka. Intinya, kalau kita mau jujur pembahasan sebuah RUU tidak hanya tanggung jawab DPR RI saja. Melainkan juga menjadi tanggung jawab bersama dengan pemerintah,” kata Bamsoet.
Ia mencontohkan, RUU tentang Pengaturan Peredaran Minuman beralkohol dan RUU Tembakau yang belum juga tuntas. Kendala antara lain karena minimnya kehadiran dari pihak pemerintah. Bambang mengatakan, perjalanan pembahasan RUU tersebut dapat dilihat catatannya di Kesetjenan DPR RI.
“Itu hanya sebagian contoh tentang bagaimana kendala yang dihadapi oleh DPR RI dalam membahas sebuah RUU. Karena itu awalnya dalam UU MD3, ada ketentuan pemanggilan atau menghadirkan secara paksa terhadap pihak-pihak yang diperlukan keterangannya oleh DPR RI,” kata dia. “Dengan demikian kami harapkan kementerian yang mewakili pemerintah tidak terus menerus menghindar dalam membahas sebuah RUU. Sayangnya pasal pemanggilan tersebut dibatalkan oleh MK,” tambah Bambang.
RUU Pertembakauan sendiri merupokan hasil usul inisiatif para wakil rakyat. Lantas kemudian dibentuk pansus yang fokus bekerja untuk RUU itu. Namun, pansus pimpinan Firman Soebagyo itu masih menunggu pemerintah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU tersebut.***