Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) di Jatinangor memiliki dua situ atau danau yang fungsi utamanya untuk riset dan lingkungan. Dengan adanya dua situ ini, diharapkan kebutuhan air tercukupi. Bahkan ke depan air di ITB Jatinangor bisa langsung diminum.
Pembangunan dua situ tersebut diinisiasi oleh Prof. Ir. Indratmo Soekarno, M.Sc.,Ph.D., ketika menjabat Ketua Tim Pengembangan Multi Kampus ITB di Jatinangor. Situ yang pertama berada di hulu dibangun pada 2012-2013 dan situ yang berada di hilir (depan kampus) dibuat pada 2014.
Dikutip dari siaran pers ITB, Prof. Indratmo mengatakan situ yang berada di hulu lebih berfungsi untuk tujuan akademik dan penyelamatan sumber daya air. Situ tersebut dapat menampung sebanyak 25 ribu meter kubik air. Pembuatannya lebih didahulukan untuk kebutuhan air di kampus ITB di Jatinangor.
“Kita membutuhkan air secara mandiri maka kita bangun, dan kita sudah memikirkan ITB suatu saat bisa memiliki air yang langsung diminum, makanya di situ ada WTP (Water Treatment Plant),” katanya.
Fungsi lain dari situ tersebut bisa dipakai untuk kebutuhan irigasi. ITB memiliki prodi teknik pengelolaan sumber daya air, dan rekayasa pertanian, maka perlu ada suatu laboratorium lapangan untuk irigasi.
Fungsi lainnya yaitu untuk membuat model pembangkit listrik mikro hidro. Namun hal tersebut belum terwujud. “Saya tetap berusaha untuk bangun itu untuk kebutuhan praktikum pembangkit listrik mikro hidro,” ujarnya.
Selain itu, air dari situ bisa dimanfaatkan untuk sumber air bagi laboratorium-laboratorium yang ada. Dengan adanya situ, ia juga berharap bisa mengisi muka air tanah buat lingkungan sekitar yang mengalami penurunan muka air tanah.
“Situ yang di hulu juga bisa dipakai untuk praktikum hidrometri. Jadi kalau mahasiswa teknik (pengelolaan) sumber daya air, teknik sipil, dan mahasiswa teknik lingkungan bisa praktikum bagaimana cara mengukur penampang suatu situ, sungai, mengukur kecepatan aliran,” ucap Guru Besar pada Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) itu.
Sementara itu, situ yang berada di dekat pintu gerbang utama kampus, memiliki peran cukup penting bagi masyarakat sekitar yang berada di hilir. Kemampuan daya tampung sampai 30-35 ribu meter kubik dapat berperan sebagai pengendali banjir.
“Dulu masyarakat di Desa Sayang, di sebelah hilirnya mereka sudah kesulitan air minum karena sumur air tanah sudah menurun karena sangat padat dan mengandalkan sumur semua. Di lain pihak ketika musim hujan terjadi, mereka mengalami kebanjiran. Dengan adanya situ yang di hilir itu memiliki fungsi menaikkan muka air tanah. Sehingga sumur-sumur yang sudah kering banyak air lagi. Kedua juga mengurangi banjir,” ujarnya.
Namun menurutnya, situ tersebut lebih tepat diberi nama sebagai embung atau cekungan penampung yang digunakan untuk mengatur dan menampung air. Kenapa embung, karena dibangun hasil rekayasa atau buatan manusia.
Cita-cita yang belum tercapai saat pembangunan embung tersebut, kata Prof. Indratmo yaitu dibuat air mancur. Air mancur ini selain untuk memperindah, juga mampu meningkatkan kualitas air. “Ketika air disemprotkan ke atas, sehingga terjadi oksidasi dan kadar besinya hilang atau berkurang banyak,” katanya.
Kedepannya ia berharap, kehadiran situ tersebut dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kebutuhan riset, kegiatan akademik, dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Sejauh ini, masyarakat banyak mendapatkan nilai manfaat dari keberadaan situ tersebut,” pungkasnya. [Iman]