Pemakaman Ging Ginanjar, jurnalis senior sekaligus deklarator Aliansi Jurnalis Independen (AJI), berlangsung di tengah hujan rintik-rintik, di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Cipageran, Kota Cimahi.
Meski hujan, pelayat yang menyertai keluarga besar Ging, dari rekan kerja, sesama jurnalis, seniman, aktivis, dan warga sekitar, antusias mengiringi doa di sela prosesi pemakaman.
Jurnalis BBC itu meninggal Minggu (20/1/2019) pukul 19.05 WIB di Jakarta. Setelah singgah di Siloam semalam, kemudian jenazah diberangkatkan menuju rumah duka di Gang Sawah Lega 2 No 54 Jalan Kolonel Masturi, Kota Cimahi.
Jenazah Ging tiba di kota yang berbatasan dengan Kota Bandung dan Kabupaten Bandung Barat itu Selasa sore (22/1/2019).
Sore itu pula jenazah disalatkan dan dihantar ke pemakaman. Ging meninggalkan seorang putra Luan Gillois Ginanjar. Luan datang bersama ibunya, Laurent, dari Belgia. Mereka hadir di pemakaman setelah sebelumnya melewati perjalanan panjang dari Eropa.
Ging pria kelahiran Bandung 6 Juni 1964. Lulusan Akademi Seni Tari Indonesia (Asti yang kini Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung) itu adalah anak sulung dari enam bersaudara yang lahir dari pasangan Ine Badriawati Herawati dan Yahya Ganda.
Rumah duka di Gang Sawah Lega adalah rumah orang tua Ging yang sejak tersiar kabar Ging meninggal, banyak dikirimi karangan bunga.
Selama di Bandung, Ging aktif berkesenian lewat teater yang mengangkat tema kritis terhadap pemerintah otoriter Orde Baru. Tak heran jika prosesi pemakaman Ging banyak dihadiri seniman Bandung, antara lain Tisna Sanjaya, Hawe Setiawan, Ahda Imran, Iman Soleh, Mukti Mukti, Matdon, Deddy Koral, dan banyak lagi.
Di Bandung pula ia turut membidani majalah bawah tanah Independen yang mengkritisi kebijakan Orde Baru yang militeristik, serta turut mendeklarasikan Aliansi Jurnalis Independen pada 1994.
Ging kemudian menggeluti dunia jurnalisme dan bekerja di sejumlah media. Ia lama bertugas di luar negeri. Terakhir ia bekerja di BBC Indonesia.
Heru Hendratmoko mengatakan, dirinya kenal dengan Ging ketika sama-sama di lapangan. Saat itu, Ging bekerja di tabloid Detik. Tanggal 21 Juni 1994, Soeharto membredel majalah Temo dan tabloid tempat Ging bekerja. Heru sendiri bekerja di koran Jakarta Jakarta.
“Kami dipertemukan di jalanan. Kumpul-kumpul bersama,” kenang Heru yang sudah mengenal Ging selama 25 tahun, saat memberikan testimoni sebelum prosesi pemakaman.
Lalu pada 7 Agustus di tahun yang sama, Heru dan Ging turut mendeklarasikan AJI, organisasi wartawan yang memperjuangkan kebebasan pers sekaligus sebagai respons perlawanan terhadap organisasi tunggal wartawan yang ada pada saat itu. Deklarasi ini membuat pemerintah Orde Baru berang. AJI hingga kini masih berdiri sebagai organisasi jurnalis. [Iman]