Thinkway Logo

Pangeran Timur yang Belajar ke Barat

Judul: Pangeran dari Timur

Penulis: Iksaka Banu & Kurnia Effendi

Penerbit: Penerbit Bentang (PT. Bentang Pustaka)

Cetakan: Pertama, Februari 2020

Tebal: 593 halaman

ISBN: 978-602-291-675-8

THINGKWAY.ID – Buku bermutu biasanya tidak ditulis terburu-buru. Ia lahir dengan perhatian penuh; berkarakter kuat, dengan alur cerita yang memikat dan bisa diterima akal sehat. Singkatnya, ia terus terngiang diingatan, sekuat mitos cinta pertama yang konon gigih menolak dimuseumkan. Begitulah kesan pertama saya membaca Pangeran dari Timur, karangan Iksaka Banu dan Kurnia Effendi.

Terbagi pada dua dimensi masa, novel ini seperti wahana yang dilengkapi mesin waktu. Mengisahkan kehidupan seorang Raden Saleh Syarief Bustaman, maestro seni lukis di abad XIX dan era pergerakan hingga revolusi fisik abad XX. Lewat epilognya, penulis menjelaskan bahwa dua periode itu membentuk mozaik yang menggenapi cerita Pangeran dari Timur, setelah dua dekade bongkar-pasang warta yang berserakan.

Tokoh Raden Saleh sendiri menempati posisi yang ambigu dalam arus sejarah Indonesia. Beberapa orang di masa lalu meragukan eksistensinya, bahkan dianggap mitos. Di kalangan kritikus seni rupa maupun kelompok nasionalis mendengungkan beragam nada yang saling bersahutan.

Untuk menghidupkan zeitgeist, jiwa zaman, penulis turut menyertakan opini-opini tersebut dalam novel ini. Jika abad XIX terhampar karpet merah perjalanan hidup Raden Saleh yang gemerlap, sampai akhirnya temaram dan benar-benar padam. Maka abad XX menjadi panggung opini-opini tadi yang dibunyikan via tokoh rekaan di era pergerakan.

Fiksi Menghidupkan Fakta

Kepiawaian penulis meracik fakta dalam karya fiksi patut diacungi jempol. Kita seolah menemukan pengganti pelajaran sejarah yang cenderung membosankan di sekolah. Lewat buku ini, mereka seakan berpesan bahwa sejarah bukan sekedar peringatan tahunan, ataupun kumpulan tanggal, tragedi, dan tempat yang muncul di soal-soal ujian. Tapi sejarah juga bisa dinikmati, ia bersifat multitafsir yang tentu saja tak sekaku resep dokter.

Raden Saleh kecil tumbuh dibawah bimbingan pamannya Raden Arya Adipati Sura Adimenggala V yang menjabat sebagai Bupati Terbaya, Semarang. Keterampilannya dalam menggambar mendorong roda nasib ke arah kemajuan.

Kemitraan Gubernur Jendral Hindia Belanda, Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen, dengan pamannya ibarat tiket perjalanan keilmuan yang tak kenal kadaluwarsa. Berkat hubungan keduanya, Saleh kecil dapat mengecap pengetahun dari Adrianus Johannes Bik, si juru gambar pemerintah, dan Antoine Auguste Jean Joseph Payen pelukis jempolan pemerintah di era itu.

Babak akhir Perang Jawa jadi latar kisah Saleh kecil sebelum melancong ke Negeri Kincir Angin. Sejak serumah dengan sang paman di Dalem Kabupatenan, pola pikirnya semakin matang. Karena paman dan kedua kang masnya kerap bertukar pikir seusai santap malam. Sehingga bukan hanya nutrisi jasmani yang terisi, memori Saleh juga penuh akan informasi. Terutama kabar tentang Pangeran Diponegoro, ia memang menaruh minat yang besar atas segala hal yang berkaitan dengannya (hlm 27).

Sebagai pelukis muda yang cemerlang, ia diminta guru barunya, Cornelis Kruseman, membantu melukis Hendrik Merkus de Kock. Nama yang menjadi bahan bakar untuk mendidihkan darah dalam hatinya. Pada pertemuan itu, tanggapan Saleh menyinggung de Kock yang telah mengambil keuntungan selama kolonialisasi di Hindia Belanda. Hal yang jelas membuat de Kock terganggu, sebuah adegan yang mengkonfirmasi betapa dalamnya simpati Saleh kepada perjuangan Pangeran Diponegoro (hlm 92-94).

Tidak seharusnya mereka melucuti kerisnya. Dapatkah tuan membayangkan seandainya pedang Excalibur dirampas dari tangan Raja Arthur? Hanya ada dua hal yang akan terjadi: senjata dan tuannya akan sama-sama merana dan musnah.” (hlm 101). Komentar tegas Raden saleh setelah melihat keris Kiai Naga Siluman kepada Reiner Pieter van de Kasteele, seorang penjaga cendera mata perang Belanda. Sebelum ia diminta untuk memberi keterangan tentang asal-usul keris tersebut. Dengan itu, keberpihakan Saleh pada kelompok Pangeran Diponegoro semakin kuat.

Diasingkan Zaman

Selama hidupnya Saleh berada di persimpangan antara bangsanya atau teman-teman Eropanya. Ia mendapat perlakuan rasial ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Negeri Kincir Angin tersebut. Namun berkat bakat dan kemampuan melukisnya ia akhirnya diakui sebagai salah satu maestro seni lukis Romantik, bahkan mendapatkan gelar kehormatan Bintang Ksatria Takhta Oak dari Raja Willem II.

Pergaulan sosialnya di Eropa sempat melambungkan namanya, sehingga dapat berteman dengan para pesohor dari berbagai negera di Eropa. Namun itu hanyalah kedigdayaan sesaat, setelah ia kembali ke Hindia Belanda tahun 1851. Kegemilangan dan bakatnya tak lagi berharga di hadapan pemerintah kolonial. Ia kembali mengalami nasib buruk sebagai rakyat kolonial, bahkan hubungannya dengan sang istri, Constancia harus kandas diterba badai rasial. Saat itu pernikahan rakyat Hindia-Belanda dengan bangsa Eropa dianggap tabu.

Setelah sekian lama mengabdi pada Kerajaan Belanda, Raden Saleh tak pernah menduga bahwa ia akhirnya akan difitnah terlibat dalam upaya pemberontakan. Ia dituduh sabagai dalang dari peristiwa Pemabantaian BerdarahTambun di tahun 1869. Kejadian itu membuatnya tersentak. Akhirnya ia menyadari bahwa kemampuan dan pengabdianya terhadap Kerajaan Belanda tidak mampu menjembatani perbedaan rasial di antara mereka. Kemelut identitas menjadi persoalan yang menghantuinya hingga akhir.

Iksaka Banu dan Kurnia Effendi memanfaatkan panggung kedua untuk menghadirkan perdebatan sosok Raden Saleh dalam historisitas bangsa Indonesia. lewat tokoh di masa pergerakan seperti Syamsuddin, Ratna Juwita van Geelman, Syafei, dan Ho Pit Long. Nada sumbang maupun decak kagum saling mengisi suara-suara kritis terhadap sosok Raden Saleh.

Syafei yang berhaluan kiri tidak menganggap Raden Saleh sebagai sosok yang nasionalis. Sementara Syamsuddin menganggap bahwa perjuangan terhadap kolonialisme tidak melulu tentang perlawanan fisik, sehingga lewat lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” sudah cukup menggambarkan posisi politik Raden Saleh.

Terlepas dari kiprah dan kisah hidup Raden Saleh yang digambarkan dalam dua periode di buku ini. Saya menggangap karya sebagai salah satu historical fiction yang perlu dibaca, selain dikemas secara apik dengan sumber-sumber kredibel, buku ini juga memberikan banyak informasi seputar Raden Saleh yang jarang dibahas dalam sejarah bangsa kita.

Penulis: Rifqi Aziz

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.